Oleh: Ramadhan | September 23, 2009

KONSEP DASAR KEPERAWATAN GERONTIK

DISUSUN OLEH :
DIANA SAFITRI NIM.07.40.058
DWI LESTARI NIM.07.40.061
EVI KINANTI NIM.07.40.064
IIS CHOLILAH NIM.07.40.071
SONY KUSUMA WIJAYA NIM.07.40.088
TRI VITA NIM.07.40.093

PEMBIMBING : ERFANDI

PENDAHULUAN
Perkembangan IPTEK memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan yang terlihat dari angka harapan hidup (AHH) yaitu:
AHH di Indonesia tahun 1971 : 46,6 tahun
tahun 1980 : 52.2 tahun
tahun 1999 : 67,5 tahun
Populasi lansia akan meningkat juga yaitu
· Pada tahun 1990 jumlah penduduk 60 tahun ± 10 juta jiwa/5,5% dari total populasi penduduk.
· Pada tahun 2020 diperkirakan meningkat 3X menjadi ± 29 juta jiwa/11,4 % dari total populasi penduduk (Lembaga Demografi FE-UI-1993).
Selanjutnya :
Terdapat hasil yang mengejutkan, yaitu:
· 62,3% lansia di Indonesia masih berpenghasilan dari pekerjaannya sendiri
· 59,4% dari lansia masih berperan sebagai kepala keluarga
· 53 % lansia masih menanggung beban kehidupan keluarga
· hanya 27,5 % lansia mendapat penghasilan dari anak/menantu

PENGERTIAN
Ilmu Keperawatan Gerontik : Ilmu + Keperawatan + Gerontik
· Ilmu : pengetahuan dan sesuatu yang dapat dipelajari
· Keperawatan : konsisten terhadap hasil lokakarya nasional keperawatan 1983
· Gerontik : gerontologi + geriatrik
· Gerontologi berasal dari Geros = lansia dan logos = ilmu
· Gerontologi adalah cabang ilmu yang membahas/menangani tentang proses penuaan/masalah yang timbul pada orang yang berusia lanjut.
· Geriatrik berasal dari kata Geros dan Eatriea. Geros = lansia, Eatriea = kesehatan.
· Geriatrik berkaitan dengan penyakit atau kecacatan yang terjadi pada orang yang berusia lanjut.
· Gerontologi keperawatan : Ilmu yang mempelajari keperawatan pada lansia
· Keperawatan Gerontik : suatu bentuk pelayanan profesional yang didasarkan pada ilmu dan kiat/teknik keperawatan yang berbentuk bio-psiko-sosio-spritual dan kultural yang holistik, ditujukan pada klien lanjut usia, baik sehat maupun sakit pada tingkat individu, keluarga, kelompok dan masyarakat.

TUJUAN GERIATRIK
Tujuan geriatrik adalah sebagai berikut :
Mempertahankan derajat kesehatan para lanjut usia ada taraf yang setinggi-tingginya, sehingga terhindar dari penyakit atau gangguan.
Memelihara kondisi kesehatan dengan aktivitas-aktivitas fisik dan mental.
Merangsang para petugas kesehatan (dokter, perawat) untuk dapat mengenal dan menegakkan diagnose yang tepat dan dini, bila mereka menjumpai suatu kelainan tertentu.
Mencari upaya semaksimal mungkin, agar para lanjut usia yang menderita suatu penyakit atau gangguan, masih dapat mempertahankan kebebasan yang maksimal tanpa perlu suatu pertolongan (memelihara kemandirian secara maksimal).
Bila para lanjut usia sudah tidak dapat tersembuhkan dan bila mereka sudah sampai stadium terminal, ilmu ini mengajarkan untuk tetap memberikan bantuan yang simpatik dan perawatan dengan penuh pengertian, (dalam akhir hidupnya memberikan bantuan moril dan perhatian yang maksimal, sehingga kematiannya berlangsung dengan tenang).

BATASAN USIA LANJUT
DEPKES RI membagi Lansia sebagai berikut:
1. kelompok menjelang usia lanjut (45 – 54 th) sebagai masa VIRILITAS
2. kelompok usia lanjut (55 – 64 th) sebagai masa PRESENIUM
3. kelompok usia lanjut (65 th > ) sebagai masa SENIUM

Sedangkan WHO membagi lansia menjadi 3 kategori, yaitu:
1. Usia lanjut (elderly) : 60 – 74 tahun
2. Usia Tua (old) : 75 – 89 tahun
3. Usia sangat lanjut (very old) : > 90 tahun

UU no.13 tahun 1998 → tentang kesejahteraan lansia :
Lansia pada seseorang berusia 60 tahun ke atas
Usia digolongkan atas 3 :
Usia biologis
Usia yang menunjuk pada jangka waktu seseorang sejak lahirnya berada dalam keadaan hidup.
Usia psikologis
Menunjukkan pada kemampuan seseorang untuk mengadakan penyesuaian-penyesuaian pada situasi yang dihadapinya.
Usia sosial
Usia yang menunjuk pada peran-peran yang diharapkan/diberikan masyarakat kepada seseorang sehubungan dengan usianya.

LINGKUP PERAN DAN TANGGUNGJAWAB
Fenomena yang menjadi bidang garap keperawatan gerontik adalah tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia (KDM) lanjut usia sebagai akibat proses penuaan.
Lingkup askep gerontik meliputi:
1. Pencegahan terhadap ketidakmampuan akibat proses penuaan
2. Perawatan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akibat proses penuaan
3. Pemulihan ditujukan untuk upaya mengatasi kebutuhan akibat proses penuaan
Dalam prakteknya keperawatan gerontik meliputi peran dan fungsinya sebagai berikut:
1. Sebagai Care Giver /pemberi asuhan langsung
2. Sebagai Pendidik klien lansia
3. Sebagai Motivator
4. Sebagai Advokasi
5. Sebagai Konselor
Tanggung jawab Perawat Gerontik
1. Membantu klien lansia memperoleh kesehatan secara optimal
2. Membantu klien lansia untuk memelihara kesehatannya
3. Membantu klien lansia menerima kondisinya
4. Membantu klien lansia menghadapi ajal dengan diperlakukan secara manusiawi sampai dengan meninggal.
Sifat Pelayanan Gerontik
1. Independent (layanan tidak tergantung pada profesi lain/mandiri)
2. Interdependent
3. Humanistik (secara manusiawi)
4. Holistik (secara keseluruhan)

DAFTAR PUSTAKA
Setiabudhi, Tony. 1999. Panduan Gerontologi Tinjauan Dari Berbagai Aspek Menjaga Keseimbangan Kualitas Hidup Para Lanjut Usia. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
Nugroho, Wahjudi SKM. 1995. Perawatan Lanjut Usia. Jakarta : EGC
http://nursecerdas.wordpress.com/2009/01/12/keperawatan-gerontik/
http://ferryefendi.blogspot.com/2007/11/keperawatan-gerontik.html
http://nurse.rusari.com/gerontik/konsep-dasar-keperawatan-gerontik.html

KONSEP DASAR KEPERAWATAN GERONTIK.doc

Oleh: Ramadhan | September 23, 2009

LANSIA DALAM KEPENDUDUKAN

LANSIA DALAM KEPENDUDUKAN.doc

Oleh: Ramadhan | September 21, 2009

MASALAH MENTAL DAN PSIKIATRIK PADA LANSIA

Disusun Oleh :

PATRA RANA K

Nim : 07.20.035

Dosen Pembimbing :

Erfandi S.Kep Ns


A. Pendahuluan

Psikogeatri adalah cabang ilmu kedokteran yang memperhatikan pencegahan, diagnosis, dan terapi gangguan fisik dan psikologi atau psikiatrik pada lanjut usia.

Sehubungan dengan meningkatnya populasi usia lanjut, perlu dimulai dipertimbangkanya adanya pelayanan psikogeratri di RS yag cukup besar. Tentang bagaimana kerjasama antar bidang psikogeratri dan geriatric dapat dilihat pada bab mengenai pelayanan kesehatan pada usia lanjut.

B. Pemeriksaan psikiatri pada usia lanjut

Penggalian riwayat psikiatrik dan pemeriksaan status mental pada penderita usia lanjut. Harus mengikuti format yang sama dengan berlaku pada dewasa muda. Karena tingginya privalensi gangguan kognitif perawat harus menentukan penederita harus mengerti sifat dan tujuan pemeriksaan. Jika penderita mengalami gangguan kognitif harus didapatkan dari keluarganya.

C. Riwayat psikiatrik

Bisa didapatkan alo atau oto anamnesis. Riwayat psikiatrik lengkap termasuk identifikasi awal, keluhat utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat pribadi atau dan keluarga. Penderita berusia di atas 65 tahun atau di atas 65 tahun sering mengeluh subyektif penurunan daya ingat.

D. Pemeriksaan Status Mental

Meliputi bagaimana penderita berpikir, merasakan bertingkahlaku selama pemeriksan. Keadaan umum penderita adalah termasuk penampilan, aktivitas, psikomotorik, sikap terhadap pemeriksaan. Keadan umum penderita termasuk penampilan, aktivitas, psikomotorik.

E. Penilaian Fungsi

Penderita lanjut usia harus diperiksa tentang kemampuan mereka untuk mempertahnkan kemandirian dan untuk melakukan aktivitas dalam kehidupan sehari – hari. Seperti ke toilet, makan minum, berdandan.

F. Mood, Perasaan dan afek

Di Negara lain, bunuh diri adalah suatu penyebab utama kematian dari golongan usia lanjut. Perasaan kesepian, tidak berguna, tidak berdaya adalah masalah depresi. Kesepian merupakan merupakan alasan yang paling sering di kemukakan oleh kaum lanjut usia untuk bunuh diri. Pemeriksaan harus spesifik menanyakan tentang adanya pikiran bunuh diri, apakah klien merasa kehidupanya sudah tidak berharga lagi.

G. Gangguan Persepsi

Halusianasi dan ilusi pada usia lanjut merupakan fenomena yang disebabkan penurunan ketajaman sensorik. Pemeriksa harus mencatat apakah penderita mengalami kebingungan terhadap waktu dan tempat selama episode halusinasi.

Halusiansi dapat disebabkan oleh tumor otak.

H. Gangguan Visuospasial

Suatu penurunan kapasitas visuospasial adalah normal dengan lanjut usia. Membantu penderita untuk menggambar atau mencontoh mungkin membantu dalam penilaian pemeriksaan neuro psikologis.

I. Peoses Berpikir

Gangguan pada progresi pikiran adalah neologisme. Isi pikiran harus diperiksa adanya obsesi, preokupasi. Pemeriksaan harus menentukan apakah adanya waham dan harus dicari. Serta bagaimana waham tersebut mempengaruhi kehidupan.

J. Sensorum dan kognisi

Mempermasalahkan fungis dari indra tertentu, sedangkan kognisi mempermasalahkan informasi dan intelektual.

K. Kesadaran

Indikator terhadap pekanya perubahan fungsi otak adalah kesdaran. Adanya fluktuasi tingkat kesadaran, pada tingkat stupor atau somnolen.

L. Orientasi

G3 Orientasi terhadap waktu, tempat, dan orang berhubungan dengan gangguan kognisi. G3 orientasi sering diketemukan pada gangguan kognitif dan gangguan kecemasan terutama pada periode stres fisik dan lingkungan. Pemeriksa harus menguji orientasi pada tempat dan minta untuk menggambar lokasi tersebut. Penderita yang tidak mengalami kelainan biasanya dapat mengingat angka maju dan mundur.

M. Daya Ingat

Dalam hal daya ingat jangka panjang, pendek dan segera. Tes yang diberikan dengan memberikan klien 6 dijit angka dan penderita di iminta untuk mengulangi maju dan mundur.

N. Fungsi Intelektual, konsentrasi dan kecerdasan.

Sejumah fungsi intelektual mungkin diajukan untuk menilai pengetahuan umum. Penderita dapat diberikan soal matematik seperti pengurangan seperti 100 – 7 atau sebagainya. Pengetahuan umum adalah yang berhubungan dengan kecerdasan penderita dengan misalnya menanyakan kota besar di indonesia.

O. Membaca dan menulis

Untuk mengetahui penderita mempunyai defisit bicara khusus. Pemeriksa dapat meminta membaca dengan keras atau menulis sederhana untuk mengetahui adanya defisit atau kelainan.

P. Pertimbangan

Kapasitas untuk bertindak sesuai dengan bebagai situasi. Sebagaian besar dari tata cara pelaksanaa tes harus dimengerti pula oleh mereka yang berkecimpung, karena pada orang dengan usia lanjut terdapat hubungan yang sangat erat antara hubungan, hub psikologig dan sosial. Pemeriksaan di atas biasanya dimasukan dalam assesment geriatri.

Beberapa masalah di bidang psikogeratri

  1. Kesepian

Kesepian, biasanya dialami oleh seorang lanjut usia pada saat meninggalnya pasangan hidup atau teman dekat, atau :

o Pensiun

o Anak sibuk

o Tak punya aktivitas

o Terisolasi sosial

o Tak ada teman bicara

  1. Duka Cita

Periode duka cita merupakan suatu periode yang rawan bagi seorang lanjut usia. Mennggalnya pasngan hidup. Seorang teman dekat atau hewan yang disayangi.

  1. Depresi

Menurut kriteria baku yang dekeluarkan oleh DSM-III R

Perasaan tertekan hampir sepanjang hari.

BB turun secara nyata atau tidak.

Depresi merupakan suatu gangguan keadaan tonus perasaan yang secara umum ditandai oleh rasa kesedihan, apatis, pesimisme, dan kesepian yang mengganggu aktivitas sosial dalam sehari-hari. Depresi biasanya terjadi pada saat stress yang dialami oleh seseorang tidak kunjung reda, sebagian besar diantara kita pernah merasa sedih atau jengkel, kehidupan yang penuh masalah, kekecewaan, kehilangan dan frustasi yang dengan mudah menimbulkan ketidakbahagiaan dan keputusasaan. Namun secara umum perasaan demikian itu cukup normal dan merupakan reaksi sehat yang berlangsung cukup singkat dan mudah dihalau (Gred Wilkinson, 1995).

Depresi dan Lanjut Usia sebagai tahap akhir siklus perkembangan manusia. Masa dimana semua orang berharap akan menjalani hidup dengan tenang, damai, serta menikmati masa pensiun bersama anak dan cucu tercinta dengan penuh kasih sayang. Pada kenyataanya tidak semua lanjut usia mendapatkannya. Berbagai persoalan hidup yang menimpa lanjut usia sepanjang hayatnya seperti : kemiskinan, kegagalan yang beruntun, stress yang berkepanjangan, ataupun konflik dengan keluarga atau anak, atau kondisi lain seperti tidak memiliki keturunan yang bisa merawatnya dan lain sebagainya. Kondisi-kondisi hidup seperti ini dapat memicu terjadinya depresi. Tidak adanya media bagi lanjut usia untuk mencurahkan segala perasaan dan kegundahannya merupakan kondisi yang akan mempertahankan depresinya, karena dia akan terus menekan segala bentuk perasaan negatifnya ke alam bawah sadar (Rice philip I, 1994).

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat depresi adalah gangguan mental yang umum terjadi di antara populasi. Diperkirakan 121 juta manusia di muka bumi ini menderita depresi. Dari jumlah itu 5,8 persen laki-laki dan 9,5 persen perempuan, dan hanya sekitar 30 persen penderita depresi yang benar-benar mendapatkan pengobatan yang cukup, sekalipun telah tersedia teknologi pengobatan depresi yang efektif. Ironisnya, mereka yang menderita depresi berada dalam usia produktif, yakni cenderung terjadi pada usia kurang dari 45 tahun. Tidaklah mengherankan, bila diperkirakan 60 persen dari seluruh kejadian bunuh diri terkait dengan depresi (Ahmad Djojosugito, 2002).

Depresi dialami oleh 80 persen mereka yang berupaya atau melakukan bunuh diri pada penduduk yang didiagnosis mengalami gangguan jiwa. Bunuh diri adalah suatu pilihan untuk mengakhiri ketidakberdayaan, keputusasaan dan kemarahan diri akibat gangguan mood. Angka bunuh diri meningkat tiga kali lipat pada populasi remaja (usia 15 sampai 24) karena terdapat peningkatan insiden depresi pada populasi ini. Pria yang berusia lebih dari 64 tahun memiliki angka bunuh diri 38/100.000 dibandingkan dengan angka 17/100.000 untuk semua pria di Amerika Serikat (Roy, 2000).

Menurut sebuah penelitian di Amerika, hampir 10 juta orang Amerika menderita Depresi dari semua kelompok usia, kelas sosial ekonomi, ras dan budaya. Angka depresi meningkat secara drastis diantara lansia yang berada di institusi, dengan sekitar 50 persen sampai 75 persen penghuni perawatan jangka panjang memiliki gejala depresi ringan sampai sedang. Dari jumlah itu, angka yang signifikan dari orang dewasa yang tidak terganggu secara kognitif (10 sampai 20 persen) mengalami gejala-gejala yang cukup parah untuk memenuhi kriteria diagnostik depresi klinis. Oleh karena itu, depresi merupakan masalah kesehatan masyarakat yang disignifikan merupakan gangguan psikiatri yang paling banyak terjadi pada lansia, tetapi untungnya dapat diobati dan kembali sehat (Hermana, 2006).

Selain itu prevalensi depresi pada lansia di dunia berkisar 8-15 persen dan hasil meta analisis dari laporan-laporan negara di dunia mendapatkan prevalensi rata-rata depresi pada lansia adalah 13,5 persen dengan perbandingan wanita-pria 14,1 : 8,6. Adapun prevalensi depresi pada lansia yang menjalani perawatan di RS dan panti perawatan sebesar 30-45 persen. Perempuan lebih banyak menderita depresi (Chaplin dan Prabova Royanti, 1998).

Depresi pada lansia seringkali lambat terdeteksi karena gambaran klinisnya tidak khas. Depresi pada lansia lebih banyak tampil dalam keluhan somatis, seperti: kelelahan kronis, gangguan tidur, penurunan berat badan dan sebagainya. Depresi pada lansia juga tampil dalam bentuk pikiran agitatif, ansietas, atau penurunan fungsi kognitif. Sejumlah faktor pencetus depresi pada lansia, antara lain faktor biologik, psikologik, stress kronis, penggunaan obat. Faktor biologik misalnya faktor genetik, perubahan struktural otak, faktor resiko vaskuler, kelemahan fisik, sedangkan faktor psikologik pencetus depresi pada lansia, yaitu tipe kepribadian, relasi, interpersonal (Frank J. Bruno, 1997).

Berdasarkan hasil survey pendahuluan yang dilakukan di Desa Satahi Nauli Terdapat 80 KK yang mempunyai lansia yang tinggal bersama mereka.

Q. Penatalaksanaan

Menurut Suryo, faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam terapi depresi pada lansia yaitu perubahan faal oleh proses menua, status medik atau komorbiditas penyakit fisik, status fungsional, interaksi antar obat, efektivitas dan efek samping obat serta dukungan sosial. “Penatalaksanaan depresi pada lansia mencakup terapi biologik dan psikososial,” katanya.

Terapi biologik lain dengan pemberian obat antidepresan, terapi kejang listrik (ECT), terapi sulih hormon dan Transcranial Magnetic Stimulation (TMS). Sementara terapi psikosial bertujuan mengatasi masalah psikoedukatif, yaitu mengatasi kepribadian maladaptif, distorsi pola berpikir, mekanisme koping yang tidak efektif, hambatan relasi interpersonal. Terapi ini juga dilakukan untuk mengatasi masalah sosiokultural, seperti keterbatasan dukungan dari keluarga , kendala terkait faktor kultural, perubahan peran sosial.

Pada tahun 2025 jumlah lansia di Indonesia diperkirakan meningkat 4 kali lipat. Masalah kesehatan lansia kian menonjol sementara upaya pelayanan kesehatan bagi lansia masih terbatas kuantitas dan kualitasnya. Menjadi tua berarti mengalami beragam perubahan baik fisik dan psikososial sejalan bertambahnya umur. “Menua merupakan bagian dari proses kehidupan yang tidak bisa diingkari, namun kualitas hidup harus diupayakan tetap terjaga sehingga dapat sehat, aktif dan mandiri, katanya.

Daftar Pustaka

1. Kaplan HI, Saddock BJ and Greb. Geriatri. Sinopso Psokiatri Vol VI. Alih bahasa : Wijaya K. Bina Rupa Aksara : Jakarta

2. Direktorat Kesehatan Jiwa. Pedoman pengelolaan jiwa dan diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia. Dep Kes RI

3. Gunadi H. 2000. Problematik usia lanjut diitnjau dari kesehatan Jiwa. Jiwa.Jakarta : Erlangga
Gerontik Patra.doc

Oleh: Ramadhan | September 21, 2009

PERKEMBANGAN PADA TAHUN TERAKHIR KEHIDUPAN


Di Susun Oleh:

LULUK FAUSIAH

3A/(07. 027)

PEMBIMBING : ERFANDI



A. TEORI PERKEMBANAGAN (Development Theory)

Teori ini menekankan pentingnya mempelajari apa yang telah di alami lanjut usia pada saat muda hingga dewasa, dengan demikian perlu di pahami teori Freud, Buhler, Jung dan Erikson.

Sigmund Freud meneliti tentang psikoanalisa dan perubahan psikososial anak dan balita.

Erikson (1930) membagi kehidupan menjadi 8 fase dan lanjut usia perlu menemukan integritas diri melawan keputusasaan (ego integrity versus despair), seperti berikut:

Ego integrity Versus Despair

Lanjut usia menerima apa adanya Lanjut usia takut mati

Merasakan hidup penuh arti Penyesalan diri

Lanjut usia yang bertanggung jawab Merasakan kegetiran dan

dan kehidupannya berhasil merasa terlambat untuk

memperbaiki

Havighurst dan Duvall menguraikan tujuh jenis tugas perkembangan (developmental tasks) selama hidup yang harus di laksanakan oleh lanjut usia yaitu:

a) Penyesuaian terhadap penurunan fisik dan psikis

b) Penyesuaian terhadap pensiun dan penurunan pendapatan

c) Menemukan makna kehidupan

d) Mempertahankan pengaturan hidup yang memuaskan

e) Menemukan kepuasan dalam hidup keluarga

f) Penyesuian diri terhadap kenyataan akan meninggal dunia

g) Menerima dirinya sebagai seorang lanjut usia

John Birchenall RN, Med dan Mary E. Streight RN (1973), menekankan perlunya mempelajari psikologi perkembangan guna mengerti perubahan emosi dan social seseorang selama fase kehidupannya.

Teori perkembangan menjelaskan bagaimana proses menjadi tua merupakan suatu tantangan dan bagaimana jawaban lanjutan usia terhadap berbagai tantangan tersebut, yang dapat positif maupun negative. Akan tetapi teori ini tak menggariskan bagaimana cara menjadi tua yang di inginkan atau yang seharuanya di terapkan oleh lanjut usia tersebut

Hal-hal yang kurang mendukung dalam penerapan teori ini adalah:

· Pendekatan yang di pergunakan abstrak.

  1. Bila seseorang berbuat kesalahan pada fase sebelumnya ,hal tersebut tak dapat di perbaikinya dalam fase selanjutnya.

· Tidak dapat di lakukan pengujian secara impiris dan cara dapat digenerasisasi.

Pokok – pokok dalam development theory adalah:

a)Masa tua merupakan saat lanjut usia tua merumuskan seluruh masa kehidupannya

b) Masa tua merupakan masa penyesuaian diri terhadap kenyataan soasial yang baru yaitu pensiun dan menduda atau menjanda

c) Lanjut usia harus menyesuaikan diri, akibat perannya yang berakhir di dalam keluarga, kehilangan identitas dan hubungan social akibat pensiun, di tinggal mati oleh pasangan hidup dan teman-temanya.

B. TUGAS PERKEMBANAGAN

Robert J. Havighurst, seorang pakar perkembangan dan pendidikan dari Amerika, mengatakan bahwa perjalanan kehidupan memang merupakan rangkaian usaha manusia untuk melalui satu tahap perkembangan menuju tahap perkembangan selanjutnya dengan baik. Caranya adalah dengan menyelesaikan ”tugas” yang ada di setiap tahapan perkembangan. Dengan kata lain, untuk dapat melanjutkan perjalanan hidupnya dengan baik, seorang individu harus menyelesaikantugas perkembanganyang ada di tahap perkembangannya sekarang.

Tugas perkembangan adalah tugas-tugas yang muncul pada periode tertentu dalam hidup. Jika kita berhasil menyelesaikannya maka akan membawa kebahagiaan dan membantu penyelesaian tugas perkembangan selanjutnya. Sedangkan jika gagal diselesaikan akan mengakibatkan ketidakbahagiaan, penolakan dari lingkungan, dan kesulitan dalam menghadapi tugas perkembangan selanjutnya.

Kadang-kadang tugas perkembangan terpenuhi secara alamiah tanpa kita perlu memikirkannya secara sadar. Coba ingat-ingat, apakah dulu ketika balita secara sadar Anda menyadari bahwa Anda punya tugas perkembangan harus bisa merangkak dan berjalan? Atau ketika remaja, apakah Anda yang merencanakan kapan akan mulai tertarik pada lawan jenis? Ada hal-hal yang berjalannya alamiah saja. Di sekitar kita juga ada pihak-pihak yang kerap membantu kita menyesuaikan diri. Waktu kecil, orangtua membantu kita belajar berjalan. Di usia remaja, teman dekat memberi tips bagaimana mendekati pujaan hati. Kadang-kadang banyak tugas perkembangan yang tahu-tahu sudah bisa kita selesaikan dengan mudah tanpa usaha yang berlebihan. Tapi, memang ada hal-hal yang perlu usaha aktif, sehingga ada baiknya kita mengenal apa saja tugas-tugas dari tiap tahap perkembangan. Dengan mengetahuinya, kita bisa mengarahkan usaha untuk menyelesaikan tugas tersebut dengan baik. Atau, sebagai orang tua misalnya, kita bisa membimbing putra-putri kita melewati tiap tahapan perkembangan dengan baik.

Singkatnya, tugas perkembangan terdiri dari tiga jenis tugas. Pertama adalah tugas yang berasal dari pertumbuhan fisik. Misalnya, kesiapan fisik balita membuatnya mulai belajar berjalan dan bicara. Keterampilan itu akan diperlukan untuk tahap perkembangan berikutnya, misalnya untuk bermain bersama teman-teman. Di usia remaja, pertumbuhan fisik hormonal memunculkan rasa ketertarikan pada lawan jenis. Di sini ada tugas perkembangan untuk belajar menjaga sikap pada lawan jenis. Kedua, ada tugas-tugas yang berasal dari kematangan kepribadian. Yang ini terkait dengan pertumbuhan sistem nilai dan aspirasi. Misalnya, di usia SD mulai muncul kesadaran akan perbedaan kelompok sosial dan ras, maka di usia ini ada tugas perkembangan untuk bisa menyikapi dengan tepat perbedaan tersebut. Ketika beranjak remaja muncul harapan tentang karier, sehingga di sini muncul tugas untuk mulai mempelajari pengetahuan dan keterampilan sebagai persiapan kerja. Selanjutnya, jenis tugas perkembangan ketiga adalah tugas yang berasal dari tuntutan masyarakat, contohnya di usia SD, anak diharapkan sudah bisa baca tulis. Di usia dewasa, seseorang dituntut melakukan tanggung jawab sebagai warga sipil seperti membayar pajak dan memiliki pekerjaan.

Berbicara panjang lebar mengenai tugas perkembangan, sebenarnya apa saja tugas di setiap tahapan perkembangan kita? Berikut adalah 6 tahapan perkembangan dari Havighurst, lengkap beserta tugas-tugas yang harus diselesaikan di setiap tahapan perkembangan.

No. Tahap Perkembangan Rentang Usia Tugas Perkembangan
1 Balita 0–5 tahun · Belajar merangkak

· Belajar berjalan

· Belajar makan makanan halus dan padat

· Belajar bicara

· Belajar mengontrol buang air

· Belajar tentang perbedaan jenis kelamin

· Belajar menjalin hubungan dengan orang tua, saudara kandung, dan orang lain

· Membentuk konsep sederhana mengenai dunia sekitar

· Menyiapkan diri untuk membaca

2 Masa kanak-kanak 6–12 tahun · Menguasai kemampuan fisik dasar untuk bermain

· Bisa bermain dengan teman sebaya

· Membentuk sikap positif terhadap diri sendiri

· Mempelajari peran gender yang sesuai

· Mengembangkan kemampuan dasar dalam membaca, menghitung, dan menulis

· Mengembangkan hati nurani, moralitas, dan sistem nilai

· Memiliki kemandirian dasar dalam kegiatan sehari-hari

· Mengembangkan sikap yang tepat terhadap kelompok sosial tertentu

3 Remaja 13–18 tahun · Memiliki hubungan yang lebih dewasa dengan teman sebaya dari kedua jenis kelamin

· Memiliki peran maskulin atau feminin

· Menerima keadaan fisik yang dimiliki dan menggunakannya secara efektif

· Memiliki kemandirian emosi dari orang tua dan orang dewasa lain

· Mengembangkan pemahaman tentang pernikahan dan kehidupan berkeluarga

· Mulai berusaha mandiri secara ekonomik dan memiliki aktivitas menghasilkan

· Memiliki sistem nilai dan etika sebagai panduan berperilaku

· Menginginkan dan memiliki perilaku yang merupakan perwujudan tanggung jawab sosial

4 Dewasa muda 19–29 tahun · Mencari dan memilih pasangan hidup

· Belajar hidup bersama pasangan

· Memulai sebuah keluarga

· Merawat anak

· Mengatur rumah tangga

· Memulai jenjang karier

· Mengambil tanggung jawab sipil

· Menemukan kelompok sosial yang sesuai

5 Paruh baya 30–60 tahun · Membantu anak yang sudah remaja untuk menjadi bertanggung jawab dan bahagia

· Menjadi warga negara dan masyarakat sosial yang bertanggung jawab

· Mencapai dan mempertahankan performa karier yang memuaskan

· Mengembangkan aktivitas waktu luang

· Menjalin hubungan yang lebih intim dengan pasangan hidup

· Menerima dan beradaptasi dengan perubahan fisik yang terjadi

· Merawat orang tua yang sudah tua

6 Lanjut usia 61 tahun ke atas · Menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan fisik

· Menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi karena pensiun dan berkurangnya penghasilan

· Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup

· Menerima fakta bahwa dirinya termasuk golongan lanjut usia dan mencari kelompok seusia

· Menyesuaikan diri dengan peran sosial secara fleksibel

· Merasa puas terhadap lingkungan hidup yang mungkin diatur orang lain

Dengan memahami konsep tugas perkembangan, kita akan lebih mudah memahami dan menerima dinamika perjalanan hidup yang telah kita lalui. Kita menjadi lebih lebih mudah memahami mengapa di masa remaja kita selalu memberontak kepada orang tua maupun guru, atau mengapa di usia 25 tahunan kita merasa sangat membutuhkan pasangan hidup. Selain itu, kita juga bisa mempersiapkan diri menghadapi masa depan dengan lebih baik. Misalnya dalam menghadapi masa pensiun di usia paruh baya. Salah satu tugas perkembangan di tahap tersebut adalah mengembangkan aktivitas waktu luang. Hal ini sangat mungkin dijadikan kegiatan utama, bahkan sumber pendapatan di masa pensiun.

Sebaliknya, dengan memahami konsep tugas perkembangan kita juga bisa lebih mudah memahami perilaku orang lain. Misalnya ketika berhadapan dengan putra putri remaja kita yang selalu melawan perintah, kita jadi lebih bisa memahami bahwa mereka sedang berusaha mencapai kemandirian sebagai salah satu tugas perkembangannya. Dengan menyadari itu, kita bisa bersikap lebih bijak dan membantu mereka dengan menyediakan lingkungan yang mendukung pencapaian tugas perkembangannya, misalnya dengan memperbolehkan mereka mengikuti kegiatan lain di luar sekolah. Begitu juga ketika menghadapi orang tua yang telah lanjut usia. Memang sudah menjadi tugas perkembangannya untuk menyesuaikan diri dengan kemampuan fisik yang semakin berkurang, padahal itu sangat tidak mudah. Pemahaman ini akan membantu kita mengerti kegelisahan orang tua kita yang mungkin masih sulit menerima bahwa mereka tidak lagi sekuat dulu atau bahkan ketika justru menjadi semakin tergantung dan manja.

Alangkah indahnya dunia apabila tiap individu bisa memahami diri dan membantu orang lain untuk menyelesaikan tugas perkembangan di tiap tahap kehidupannya dengan baik. Setiap orang menjadi lebih siap menghadapi kehidupan dan semakin bisa merasakan kebahagiaan. Mungkin ini yang diperlukan untuk membangun kembali bangsa ini.

C. TUGAS PERKEMBANGAN LANJUT USIA

Beberapa tokoh perkembangan membedakan antara the young old (65-74 tahun) dan the old-old atau late old age (75 keatas) (Charness & Bosman, 1992 dalam Santrock 1999). Kemudian ada pula yang membedakan the oldest old (85 tahun ke atas) dari younger older adults (Pearlin dalam Pearlin, 1994 dalam Santrock, 1999). Perempuan kebanyakan merupakan anggota dari golongan the oldest old ini. Mereka lebih memiliki rata-rata lebih tinggi dalam keabnormalitasan dan jumlah yang jauh lebih besar dalam hal ketidak mampuan daripada golongan young old. Mereka lebih banyak tinggal di institusi, tidak menikah lagi, lebih sering memiliki pendidikan yang rendah. Banyak oldest old yang masih dapat berfungsi dengan efektif, walaupun yang lain ada pula yang telah menarik diri dari kehidupan sosial dan bergantung kepada masyarakat sekitar dalam hal dukungan financial. Porsi substansial dari oldest old berfungsi dengan baik. Preokupasi masyarakat dengan ketidakmampuan dan mortalitas oldest old telah menyembunyikan fakta bahwa mayoritas older adults berusia 80 tahun dan lebih masih terus berlangsung dalam komunitas. Lebih dari sepertiga older adults berusia 80 dan lebih yang tinggal dalam komunitas melaporkan bahwa kesehatan mereka masih sangat baik atau baik; 40 % mengatakan bahwa mereka tidak memiliki batasan dalam beraktivitas (Suzman & others, 1992 dalam Santrock, 1999).

Tugas Perkembangan (Lesmana, 2006)

Tugas perkembangan manula adalah :

Menyesuaikan diri dengan penurunan kekuatan fisik dan kesehatan

Menyesuaikan diri dengan masa pension dan penurunan pendapatan,

Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan

Memantapkan secara eksplisit bahwa ia ada pada kelompok usianya itu,

Mengadopsi dan mengadaptasi peran sosial secara fleksibel dan

Menetapkan pengaturan kehidupan yang memuaskan.

. Tugas Perkembanagn pada Lanjut Usia

Orang tua diharapkan untuk menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan dan menurunnya kesehatan secara bertahap. Mereka diharapkan untuk mencari kegiatan untuk mengganti tugas-tugas terdahulu yang menghabiskan sebagian besar waktu kala mereka masih muda. Bagi beberapa orang berusia lanjut, kewajiban untuk menghadiri rapat yang menyangkut kegiatan social sangat sulit dilakukan karena kesehatan dan pendapatan mereka menurun setelah pension, mereka sering mengundurkan diri dari kegiatan social. Disamping itu, sebagian besar orang berusia lanjut perlu mempersiapkan dan menyesuaikan diri dengan peristiwa kehilangan pasangan, perlu membangun ikatan dengan anggota dari kelompok usia mereka untuk menghindari kesepian dan menerima kematian dengan tentram.

Para lansia mempunyai tugas-tugas perkembangan yang unik. Salah satunya adalah mereka akan mengalami masa di mana mereka akan ditinggalkan oleh anak-anaknya. Menurut teori socioemotional selectivity, mereka akan membatasi kontak sosial mereka khususnya pada keluarga dan teman-teman. Keluarga, terutama anak, memiliki peranan yang lebih berarti bagi lansia. Mereka adalah sumber utama dari cinta, dukungan, dan perhatian.

D. PERKEMBANGAN EMOSI LANJUT USIA

Perubahan terjadi pada manusia seiring dengan berjalannya waktu dengan melalui tahap-tahap perkembangan. Hurlock (1991) menyebutkan tahap perkembangan tersebut adalah periode pranatal, bayi, masa bayi, masa awal kanak-kanak, masa akhir kanak-kanak, masa remaja awal, masa remaja, masa dewasa awal, masa dewasa madya, dan masa usia lanjut. Masing-masing tahapan tersebut mempunyai tugas perkembangan dan karakteristik yang berbeda-beda. Melalui tahap-tahap perkembangan tersebut, Hurlock (1991) ingin menjelaskan bahwa menjadi tua pada manusia adalah suatu hal yang pasti terjadi dan tidak dapat dihindari. Dengan kata lain, seiring dengan bertambahnya usia, manusia akan menjadi tua, yaitu periode penutup dalam rentang hidup seseorang di saat seseorang telah “beranjak jauh” dari periode tertentu yang lebih menyenangkan.

Pada masa-masa ini, individu melihat kembali perjalanan hidup ke belakang, apa yang telah mereka lakukan selama perjalanan mereka tersebut. Ada yang dapat mengembangkan pandangan positif terhadap apa yang telah mereka capai, jika demikian ia akan merasa lebih utuh dan puas, sehingga ia akan lebih dapat menerima dirinya dengan positif. Tetapi ada pula yang memandang kehidupan dengan lebih negatif, sehingga mereka memandang hidup mereka secara keseluruhan dengan ragu-ragu, suram, putus asa. Hal ini akan membuat inividu tidak dapat menerima kondisi dirinya yang telah lanjut usia.

Sama seperti setiap periode lainnya dalam rentang kehidupan seseorang, usia lanjut ditandai dengan perubahan fisik dan psikologis tertentu. Efek-efek tersebut menentukan, sampai sejauh tertentu, apakah pria atau wanita lanjut usia (lansia) tersebut akan melakukan penyesuaian diri secara baik atau buruk (Hurlock, 1991). Pendapat tersebut diperkuat oleh pernyataan Papalia (2001) yang menyebutkan bahwa perubahan-perubahan fisik yang terjadi pada lansia dapat menyebabkan perubahan pada kondisi jiwanya. Salah satu contohnya adalah perubahan fisik pada lansia mengakibatkan dirinya merasa tidak dapat mengerjakan berbagai aktivitas sebaik pada saat muda dulu.

Hal ini menyebabkan lansia kemudian menjadi demotivasi dan menarik diri dari lingkungan sosial. Masalah-masalah lain yang terkait pada usia ini antara lain loneliness, perasaan tidak berguna, keinginan untuk cepat mati atau bunuh diri, dan membutuhkan perhatian lebih. Masalah-masalah ini dapat membuat harapan hidup pada lansia menjadi menurun.

Proses penuaan terjadi secara bertahap dan merupakan proses yang tidak dapat dihindarkan, berlangsung sejak konsepsi dalam kandungan sampai individu meninggal dunia. Proses menua pada sebagian besar individu dianggap sebagai suatu hal yang tidak menyenangkan, bahkan kadang – kadang dianggap sebagai suatu pengalaman yang menegangkan yang membutuhkan penyesuaian.

Serangkaian perubahan fisik, sosial, maupun psikologis yang dialami selama proses menua membutuhkan kesiapan individu untuk menghadapinya. Perubahan – perubahan yang terjadi pada masa lanjut usia antara lain perubahan fisiologis, perubahan kemampuan motorik, dan perubahan sosial – psikologis. Efek-efek dari perubahan tersebut menentukan, apakah pria atau wanita lanjut usia (lansia) tersebut akan melakukan penyesuaian diri secara baik atau buruk (Hurlock, 1991).

Pendapat tersebut diperkuat oleh pernyataan Papalia (2001) yang menyebutkan bahwa perubahan-perubahan fisik yang terjadi pada lanjut usia dapat menyebabkan perubahan pada kondisi jiwanya.

Salah satu contohnya adalah perubahan fisik pada lanjut usia mengakibatkan dirinya merasa tidak dapat mengerjakan berbagai aktivitas sebaik pada saat muda dulu. Hal ini menyebabkan lanjut usia kemudian menjadi demotivasi dan menarik diri dari lingkungan sosial. Masalah-masalah lain yang terkait pada usia ini antara lain loneliness, perasaan tidak berguna, keinginan untuk cepat mati atau bunuh diri, dan membutuhkan perhatian lebih. Masalah-masalah ini dapat membuat harapan hidup pada lanjut usia menjadi menurun. Yang perlu digaris bawahi pada lanjut usia adalah bahwa meraih usia panjang tidak hanya soal menjaga kesehatan fisik, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana mental seseorang dalam menyikapi rentang hidupnya.

Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh para lanjut usia untuk menghadapi masalah adalah dengan berusaha mencapai kesejahteraan psikologis (psychological well-being). Bradburn (dalam Ryff, 1989) mendefinisikan psychological well-being (PWB) sebagai kebahagiaan dan dapat diketahui melalui beberapa dimensi. Dimensi-dimensi tersebut antara lain otonomi, penguasaan lingkungan, pertumbuhan pribadi, hubungan positif dengan orang lain, tujuan hidup, serta penerimaan diri (Ryff, 1989). Ryff juga menyebutkan bahwa PWB menggambarkan sejauh mana individu merasa nyaman, damai, dan bahagia berdasarkan penilaian subjektif serta bagaimana mereka memandang pencapaian potensi-potensi mereka sendiri.

Hurlock (1991) menyebutkan bahwa PWB atau kebahagiaan pada lanjut usia tergantung dipenuhi atau tidaknya “tiga A” kebahagiaan, yaitu acceptance (penerimaan), affection (kasih sayang), dan achievement (pencapaian). Apabila seorang lanjut usia tidak dapat memenuhi “tiga A” tersebut maka akan sulit baginya untuk dapat mencapai kebahagiaan. Ryff dalam buku Human Development (2000) juga memberi definisi well-being dalam adulthood dan menunjukkan bagaimana orang dewasa memandang diri mereka sendiri yang berbeda pada beberapa hal di masa adulthood mereka Salah satu dimensi dari Psychological Well-Being dalam skala Ryff yang sejalan dengan Hurlock adalah dimensi Self-Acceptance (penerimaan diri). Nilai tinggi pada dimensi ini menunjukkan bahwa lanjut usia memiliki sikap yang positif pada diri sendiri, menerima diri baik aspek yang positif maupun negatif, memandang positif masa lalu. Sedangkan nilai rendahnya menunjukkan bahwa lanjut usia merasa tidak puas terhadap diri sendiri, kecewa dengan masa lalu, ingin menjadi orang yang berbeda dari dirinya saat ini.

Dalam buku ”Bunga Rampai Psikologi Perkembangan Pribadi dari bayi sampai lanjut usia” (2001), aspek emosional yang terganggu, kecemasan, apalagi stres berat secara tidak langsung dapat mengganggu kesehatan fisik yang akan berakibat buruk terhadap stabilitas emosi. Pada lanjut usia permasalahan psikologis terutama muncul bila lanjut usia tidak berhasil menemukan jalan keluar masalah yang timbul sebagai akibat dari proses menua. Proses penuaan yang baik berkaitan dengan menolak penyakit, banyak dari kemampuan yang menurun secara lebih perlahan, cara diet yang sesuai, olah raga, stimulasi mental yang layak, serta relasi dan dukungan sosial yang baik. Dengan mengedepankan suatu kehidupan yang aktif daripada pasif akan diperoleh keuntungan – keuntungan fisik dan psikologis.

Namun proses penuaan yang berhasil membutuhkan usaha dan keterampilan – keterampilan mengatasi masalah (Satlin, 1994; Weintraub, Powell, & Whitla, 1994). Akan tetapi tidak semua lanjut usia mengalami proses penuaan yang baik. Memasuki masa tua, sebagian besar lanjut usia kurang siap menghadapi dan menyikapi masa tua tersebut, sehingga menyebabkan para lanjut usia kurang dapat menyesuaikan diri dan memecahkan masalah yang dihadapi. (Widyastuti, 2000). Munculnya rasa tersisih, tidak dibutuhkan lagi, ketidakikhlasan menerima kenyataan baru seperti penyakit yang tidak kunjung sembuh, kematian pasangan, merupakan sebagian kecil dari keseluruhan perasaan yang tidak enak yang harus dihadapi lanjut usia.

Hal – hal tersebut di atas yang dapat menjadi penyebab lanjut usia kesulitan dalam melakukan penyesuaian diri. Bahkan sering ditemui lanjut usia dengan penyesuaian diri yang buruk. Sejalan dengan bertambahnya usia, terjadinya gangguan fungsional, keadaan depresi dan paranoid akan mengakibatkan lanjut usia semakin sulit melakukan penyelesaian. Sehingga lanjut usia yang masa lalunya sulit dalam menyesuaikan diri cenderung menjadi semakin sulit penyesuaian diri pada masa-masa selanjutnya.

Yang dimaksud dengan penyesuaian diri pada lanjut usia adalah kemampuan orang yang berusia lanjut untuk menghadapi tekanan atau konflik akibat perubahan – perubahan fisik, maupun sosial – psikologis yang dialaminya dan kemampuan untuk mencapai keselarasan antara tuntutan dari dalam diri dengan tuntutan dari lingkungan, yang disertai dengan kemampuan mengembangkan mekanisme psikologis yang tepat sehingga dapat memenuhi kebutuhan – kebutuhan dirinya tanpa menimbulkan masalah baru.

Pada orang – orang dewasa lanjut yang menjalani masa pensiun dikatakan memiliki penyesuaian diri paling baik adalah lanjut usia yang sehat, memiliki pendapatan yang layak, aktif, berpendidikan baik, memiliki relasi sosial yang luas termasuk diantaranya teman – teman dan keluarga, dan biasanya merasa puas dengan kehidupannya sebelum pensiun (Palmore, dkk, 1985). Orang – orang dewasa lanjut dengan penghasilan tidak layak dan kesehatan yang buruk, dan harus menyesuaikan diri dengan stres lainnya yang terjadi seiring dengan pensiun, seperti kematian pasangannya, memiliki lebih banyak kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan fase pensiun (Stull & Hatch, 1984).

Penyesuaian diri lanjut usia pada kondisi psikologisnya berkaitan dengan dimensi emosionalnya dapat dikatakan bahwa lanjut usia dengan keterampilan emosi yang berkembang baik berarti kemungkinan besar ia akan bahagia dan berhasil dalam kehidupan, menguasai kebiasaan pikiran yang mendorong produktivitas mereka. Orang yang tidak dapat menghimpun kendali tertentu atas kehidupan emosinya akan mengalami pertarungan batin yang merampas kemampuan mereka untuk berkonsentrasi ataupun untuk memiliki pikiran yang jernih. Ohman & Soares (1998) melakukan penelitian yang menghasilkan kesimpulan bahwa sistem emosi mempercepat sistem kognitif untuk mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan terjadi. Stimuli yang relevan dengan rasa takut menimbulkan reaksi bahwa hal buruk akan terjadi. Terlihat bahwa rasa takut mempersiapkan individu untuk antisipasi datangnya hal tidak menyenangkan yang mungkin akan terjadi. Secara otomatis individu akan bersiap menghadapi hal-hal buruk yang mungkin terjadi bila muncul rasa takut. Ketika individu memasuki fase lanjut usia, gejala umum yang nampak yang dialami oleh orang lansia adalah “perasaan takut menjadi tua”. Ketakutan tersebut bersumber dari penurunan kemampuan yang ada dalam dirinya. Kemunduran mental terkait dengan penurunan fisik sehingga mempengaruhi kemampuan memori, inteligensi, dan sikap kurang senang terhadap diri sendiri.

Menurut suatu jurnal, disebutkan bahwa semakin tinggi usia seseorang maka afek-afek positifnya akan lebih banyak. Hal tersebut dikarenakan adanya faktor pendewasaan, pengalaman hidup, dll walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan, dijumpai lansia yang emosinya tidak “integrated”, hal tersebut sangat berkaitan erat dengan pengalaman hidup yang telah dilalui. (Age-Related Differences and Change in Positive and Negative Affect Over 23 Years, Journal of Personality and Social Psychology 2001, Vol. 80, No. 1, 136-151).

Sebuah penelitian menyatakan bahwa lansia yang lebih dekat dengan agama menunjukkan tingkatan yang tinggi dalam hal kepuasan hidup, harga diri dan optimisme. Studi lain menyatakan bahwa praktisi religius dan perasaan religius berhubungan dengan sense of well being, terutama pada wanita dan individu berusia di atas 75 tahun (Koenig, Smiley, & Gonzales, 1988 dalam Santrock, 2006). Studi lain di San Diego menyatakan hasil bahwa lansia yang orientasi religiusnya sangat kuat diasosiasikan dengan kesehatan yang lebih baik (Cupertino & Haan, 1999 dalam Santrock, 2006).

Agama dapat memenuhi beberapa kebutuhan psikologis yang penting pada lansia dalam hal menghadapi kematian, menemukan dan mempertahankan perasaan berharga dan pentingnya dalam kehidupan, dan menerima kekurangan di masa tua (Daaleman, Perera &Studenski, 2004; Fry, 1999; Koenig & Larson, 1998 dalam Santrock, 2006). Secara sosial, komunitas agama memainkan peranan penting pada lansia, , seperti aktivitas sosial, dukungan sosial, dan kesempatan untuk menyandang peran sebagai guru atau pemimpin. Hasil studi menyebutkan bahwa aktivitas beribadah atau bermeditasi diasosiasikan dengan panjangnya usia (McCullough & Others, 2000 dalam Santrock, 2006). Hasil studi lainnya yang mendukung adalah dari Seybold&Hill (2001 dalam Papalia, 2003) yang menyatakan bahwa ada asosiasi yang positif antara religiusitas atau spiritualitas dengan well being, kepuasan pernikahan, dan keberfungsian psikologis; serta asosiasi yang negatif dengan bunuh diri, penyimpangan, kriminalitas, dan penggunaan alkohol dan obat-obatan terlarang.

Hal ini mungkin terjadi karena dengan beribadah dapat mengurangi stress dan menahan produksi hormon stres oleh tubuh, seperti adrenalin. Pengurangan hormon stress ini dihubungkan dengan beberapa keuntungan pada aspek kesehatan, termasuk sistem kekebalan tubuh yang semakin kuat (McCullough & Others, 2000 dalam Santrock, 2006).

Lansia dengan komitmen beragama yang sangat kuat cenderung mempunyai harga diri yang paling tinggi (Krase, 1995 dalam Papalia, 2003). Individu berusia 65 ke atas mengatakan bahwa keyakinan agama merupakan pengaruh yang paling signifikan dalam kehidupan mereka, sehingga mereka berusaha untuk melaksanakan keyakinan agama tersebut dan menghadiri pelayanan agama (Gallup & Bezilla, 1992 dalam Santrock 1999). Dalam survey lain dapat dilihat bahwa apabila dibandingkan dengan younger adults, dewasa di old age lebih memiliki minat yang lebih kuat terhadap spiritualitas dan berdoa (Gallup & Jones, 1989 dalam Santrock 1999).. Dalam suatu studi dikemukakan bahwa self-esteem older adults lebih tinggi ketika mereka memiliki komitmen religius yang kuat dan sebaliknya (Krause, 1995 dalam Santrock, 1999). Dalam studi lain disebutkan bahwa komitmen beragama berkaitan dengan kesehatan dan well-being pada young, middle-aged, dan older adult berkebangsaan Afrika-Amerika (Levin, Chatters, & Taylor, 1995 dalam Santrock 1999). Agama dapat menambah kebutuhan psikologis yang penting pada older adults, membantu mereka menghadapi kematian, menemukan dan menjaga sense akan keberartian dan signifikansi dalam hidup, serta menerima kehilangan yang tak terelakkan dari masa tua (Koenig & Larson, 1998 dalam Santrock 1999). Secara sosial. Komunitas religius dapat menyediakan sejumlah fungsi untuk older adults, seperti aktivias sosial, dukungan sosial, dan kesempatan untuk mengajar dan peran kepemimpinan.

Agama dapat memainkan peran penting dalam kehidupan orang-orang tua (Mcfadden, 1996). Para teoris tidak sepakat untuk mendefinisikan dan mengukur masa tua yang sukses atau optimal. Beberapa investigator memfokuskan pada fungsi jantung, performa kognitif, dan kesehatan mental yang seperti diharapkan. Peneliti lain memfokuskan pada produktivitas, ekonomi dan lainnya sebagai kriteria penting untuk hidup sehat. Sementara pendekatan lain mencoba menguji pengalaman subyektif, yaitu bagaimana individu berhasil mencapai tujuannya dan seberapa puas mereka dengan hidupnya. Menanggapi hal ini, beberapa teori klasik maupun yang baru menjelaskan tentang masa tua yang baik, diantaranya adalah teori disengagement versus activity, teori kontinuitas, peran produktivitas, dan optimisasi selektif dengan kompensasi. Menurut teori aktivitas, peran yang disandang oleh lansia adalah sumber kepuasan yang besar; semakin besar mereka kehilangan peran setelah masa pensiun, menjanda, jauh dari anak-anak, atau infirmitas, maka semakin merasa tidak puaslah mereka. Orang yang tumbuh menjadi tua akan mempertahankan aktivitasnya sebanyak mungkin dan menemukan pengganti bagi perannya yang sudah hilang (Neugarten, Havighurst,&Tobin, 1968 dalam Papalia, 2003). Penelitian lain juga menyatakan hasil bahwa keterlibatan dalam aktivitas yang menantang dan peran sosial mennimbulkan retensi pada kemampuan kognitif dan mungkin berefek positif pada kesehatan dan penyesuaian diri sosialnya.

Menjadi seseorang yang aktif adalah hal yang penting untuk menjadi successfull aging. Selain itu, lansia yang sukses juga melibatkan perasaan kontrolnya terhadap lingkungan dan self efficacy (Bertrand&Lachman, 2003 dalam Santrock, 2006). Menurut hasil studi, diet yang tepat, gaya hidup yang aktif, stimulasi mental, dan fleksibilitas, positive coping skill, mempunyai hubungan dan dukungan sosial yang baik, dan jauh dari penyakit serta kemampuan lainnya dapat dipertahankan atau bahkan dapat dikembangkan ketika seseorang beranjak menjadi tua.

E. LANSIA DAN TUGAS PERKEMBANGAN KELUARGA
Dengan semakin luasnya pelaksanaan upaya kesehatan dan keberhasilan pembangunan nasional pd semua sektor, shg hal tersebut mendorong memperbaiki peningkatan kesejahteraan sosioekonomi serta kesehatan. Pendekatan yg harus dilakukan dlm melaksanakan program kesehatan adl pendekatan kpd keluarga dan masyarakat.
Penuaan adalah suatu proses alami yg tidak dapat dihindari, berjalan secara terus menerus, dan berkesinambungan. menyebabkan perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia pada tubuh sehingga akan mempengaruhi fungsi dan kemampuan tubuh shg akan mempengaruhi fungsi dan kemampuan tubuh secara keseluruhan ( Depkes RI , 2001)

Klasifikasi Lansia :
1. Pra lansia (prasenilis)
seseorang yg berusia antara 45-59
2. Lansia
seseorang yg berusia 60 atau lebih
3. Lansia resiko tinggi
berusia 70/lebih atau usia 60/lebih dg masalah kesehatan ( Depkes RI , 2003)
4. Lansia potensial
Lansia yg masih mampu melakukan pekerjaan dan atau kegiatan yg dpt menghasilkan barang/jasa ( Depkes RI , 2003)
5. Lansia tidak potensial
Lansia yg tdk berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain ( Depkes RI , 2003)

Karakteristik Lansia :
1. Berusia lebih dari 60 thn
2. Kebutuhan dan masalah yg bervariasi dari rentang sehat sampai sakit, dari kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adaptif hingga kondisi maladaptif
3. Lingkungan tempat tinggal
(Keliat, 1999)

Tipe Lansia :
1. Tipe Arif Bijaksana
Kaya dg hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dg perubahan zaman, mampunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana, dermawan, dan menjadi panutan
2. Tipe Mandiri
Mengganti kegiatan yg hilang dg yg baru, selektif dlm mencari pekerjaan, bergaul dg teman, dan memenuhi undangan
3. Tipe Tidak Puas
Konflik lahir batik menentang proses penuaan shg menjadi pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik dan byk menuntut
4. Tipe Pasrah
Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama, dan melakukan pekerjaan apa saja
5. Tipe Bingung
Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder, menyesal, pasif, dan acuh tak acuh

Mitos dan stereotip lansia :
1. Mitos kedamaian dan ketenangan
2. Mitos konservatif dan kemunduran
3. Mitos berpenyakitan
4. Mitos senilitas
5. Mitos tidak jatuh cinta
6. Mitos aseksualitas
7. Mitos ketidakproduktifan

Pembinaan Kesehatan Pralansia

Masa pralansia merupakan masa persiapan diri untuk mencapai usia lanjut yg sehat, aktif, dan produktif. Oleh karena itu pada masa ini banyak perubahan yg terjadi seperti menopause, puncak karier, masa menjelang pensiun, dan rasa kehilangan

Hal-hal yg perlu dipersiapkan:
1. Kesehatan

v Latihan fisik/OR scr teratur sesuai kemampuan
v Pengaturan diet
v Tetap bergairah dan memelihara kehidupan seks yg sehat
v Melakukan pemeriksaan fisik yg teratur
v Menghindari kebiasaan buruk
v Memelihara penampilan diri

2. Sosial

v Meningkatkan iman dan takwa
v Tetap setia dg psangan yg sah
v Mengikuti kegiatan sosial
v Meningkatkan keharmonisan RT
v Menyediakan waktu rekreasi
v Tetep mengembangkan hobi/bakat

3. Ekonomi

v Mempersiapkan tabungan hari tua
v Berwiraswasta
v Mengikuti asuransi

Pembinaan Kesehatan Lansia

Tujuan:
Meningkatkan derajat kesehatan dan mutu kehidupan utk mencapai masa tua yg bahagia dan berguna dlm kehidupan keluarga dan masyarakat sesuai dg eksistensinya dlm masyarakat ( Depkes RI , 2003)

Sasaran:
1. Sasaran Langsung

v Kelompok Pralansia
v Kelompok Lansia
v Kelompok Lansia dg risiko tinggi

2. Sasaran tidak langsung

v Keluarga dimana lansia tsb berada
v Organisasi sosial yg bergerak dlm pembinaan lansia
v Masyarakat

Pedoman Pelaksanaan :
1. Bagi Petugas Kesehatan
§ Upaya promotif, yaitu upaya menggairahkan semangat hidup lansia agar merasa tetap dihargai dan berguna
§ Preventif, yaitu upaya pencegahan thd kemungkinan terjadinya komplikasi dari penyakit2 yg disebabkan oleh proses penuaan
§ Kuratif, yaitu upaya pengobatan yg penanggulangannya perlu melibatkan multidisplin ilmu kedokteran
§ Rehabilatatif, yaitu upaya memulihkan fungsi organ tubuh yg telah menurun
2. Bagi Lansia
Pralansia:
Ø Informasi adanya proses penuaan
Ø Pentingnya pemerikasaan keshtan
Ø Latihan kesegaran jasmani
Ø Pentingnya diet seimbang
Ø Meningkatkan kegiatan sosial di masyarakat
Lansia
Ø Pemeriksaan kesehatan scr berkala
Ø Kegiatan OR
Ø Pola makan seimbang
Ø Perlunya alat bantu sesuai kbthan
Ø Pengembangan hobi sesuai kmpuan
Lansia Risiko Tinggi
Ø Pembinaan diri dlm pemenuhan ADL
Ø Px kesehatn berkala
Ø Latihan OR
Ø Pekaian alat bantu sesuai kbthn
Ø Perawatan fisioterapi
Bagi Keluarga dan Lingkungannya
Ø Membantu mewujudkan peran serta kebahagiaan & kesejahteraan Lansia
Ø Usaha pencegahan dimulai dlm rumah tangga
Ø Membimbing dlm ketakwaan kpd Tuhan YME
Ø Melatih berkarya & meyalurkan hobi
Ø Menghargai dan kasih thd para lansia

F. PROSES PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN PADA LANJUT USIA

Banyak literature yang mengatakan bahwa masa dewasa sebagai fase perkembangan kepribadian yang mendatar/plateu, dan ini tentunya berbeda dengan perkenbangan masa anak/remaja yang serung kali digambarkan dalam fase berkembang/menanjak. Apkh masa tua digambarkan dengan grafik menurun? Ternyata terdapat berbagai macam pendapat. Memang ada berbagai fungsi yang terpengaruh oleh kemunduran fisik sehingga kemampuan dalam bereaksi, seperti refleks maupun kemampuan menjawab dan menanggapi diskusi, agak menurun-walau persentase menunjukkan angka sekitar 10%. Sesungguhnya terdapat pula hasil penelitian mengungkapkan bahwa kemampuan berpikir para lanjut usia masih tetap intact (penuh), sedangkan kemampuan dibidang emosi tentunya banyak dipengaruhi oleh kelambanan yang terjadi karena faktopr fisik.

Baik dari teori Erikson maupun dari pengalaman para lanjut usia sendiri terungkap bahwa kepribadian tetap berkembang dan setip manusia ingin mencapai dan mengarahkan hidupnya untuk mencari kesempurnaan/wisdom. Oleh karena itu, setiap ada kesempatan para lanjut usia sering mengadakan introspeksi. Dalam perjalanan hidup tadi, terjadi proses kematangan dan bahkan tidak jarang terjadi pemeranan gender (jenis kelamin) yang terbalik. Para wanita lanjut usia ternyata menjadi tegar dalam menghadapi hidup, seolah-olah mereka tidak kalah dengan laki-laki, apalagi dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Sebaliknya, banyak pria lanjut usia tidak segan-segan memerankan peran wanita seperti mengasuh cucu, menyediakan sarapan pagi, membersihkan rumah dan lain kegiatan yang biasanya justru dilakukan oleh pihak perempuan.

Walaupun teori perkembangan kepribadianmasih tetap berkembang, kiranya ada baiknya kita menelaah hasil kelompok ahli dari WHO pada tahun 1959, yang mengatakan bahwa mental yang sehat/mental health mempunyai cirri-ciri sebagai berikut:

  1. Dapat menyesuaikan diri secara konstruktif dengan kenyataan/realitas, walau realitas tadi buruk.
  2. Memperoleh kepuasan dari perjuangannya.
  3. Merasa lebih puas untuk memberi daripada menerima.
  4. Secara relative bebas dari rasa tegang dan cemas.
  5. Berhubungan dengan orang lain secara tolong-menolong dan saling memuaskan.
  6. Menerima kekecewaan untuk dipakai sebagai pelajaran untuk hari depan.
  7. menjuruskan rasa permusuhan pada penyelesaian yang kreatif dan konstruktif.
  8. Mempunyai daya kasih saying yang besar.

Para lanjut usia yang mempunyai mental yang sehat masih dapat melakukan banyak hal positif. Pengalaman hidup mereka yang sering kali tidak terbayar itu patut diungkapkan pada generasi muda. Demikian pula, banyak nilai luhur yang mereka hayati dalam perjuangan hidup tidak mustahil dapat memberikan dampak yang positif kepada anak-cucu apabila hal ini dilestarikan.

Selanjutnya terbukti bahwa kelima factor pembentuk kepribadian diatas dapat berkembang sejak seorang anak menjadi dewasa dan akan stabil ketika menginjak usia 30 tahun. Ternyata hal ini perlu diketahui oleh setiap orngtua dalam mendidik anak mereka sehingga kepribadian yang tumbuh sehat sudah diupayakan sejak dini. Namun ada beberapa hal yang perlu dikemukakan, bahwa kepribadian yang sudah terbentuk masih dapat berubah, khususnya:

1. Bila orang dewasa tadi mengalami setres kehidupan yang hebat/katastrofik. Misalnya kehilangan seluruh anggota keluarga karena kecelakaan/bencana alam.

2. Apabila orang tadi mengalami penyakit fisik yang berat seperti stroke, sakit jantung, lumpuh.

3. Apabila dilakukan intervensi, misalnya dengan psikoterapi yang intensif-khususnya bagi mereka yang mengidap kelainan kepribadian yang cukup serius.

Jelas bahwa mereka yang mempunyai derajat neurotisisme tinggi akan banyak mengalami peristiwa hidup yang mengecewakan, dan dalam menghadapi para lanjut usia yang tergolong dalam kelompok ini tentunya hal tersebut perlu diperhitungkan sehingga pada saatnya kita harus merujuk pada ahli yang berwenang/psikoterapist. Walaupun demikian, kiranya perkembangan kepribadian yang dikemukakan oleh Erikson akan memperluas wawasan kita agar dapat lebih memahami para lanjut usia yang sering kali menunjukkan sifat yang aneh.

KESIMPULAN

Berbagai gambaran perkembangan kepribadian untuk mencapai kesehatan mental yang baik pada lanjut usia, serta criteria yang dikemukakan oleh WHO dalam menilai mental yang sehat juga dikemukakan, sehingga dalam menghadapi para lanjut usia yang sulit atau aneh dianjurkan untuk memberikan pengertian yang baik. Namun bila memang menghadapi kasus yang sulit, jangan segan-segan merujuknya pada ahli yang berwenang.

KEPUSTAKAAN

Setabudhi, Ph.D. Tony. 1999. Panduan Gerontologi Tinjauan dari Berbagai Aspek.

Jakarta: Gramedai Pustaka Utama

ASEAN Teaching Seininar on Psychogeriatric Problems. 1982. Jakarta

Pikunas J. Human Development. 1976. Tokyo: Mc Graw Hill Kogakusha

Departemen Kesehatan RI. 1999. Manajemenn Upaya Kesehatan Usia Lanjut di Puskesmas. Jakarta

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia . 1991. Perawatan pada Usia Lanjut. Jakarta

Harber, David. 1994. Health Promotion and Aging, Springer Publishing. New York

Wirakartakusumah, Djuhari. Gambaran Demografi, Ketenaga Kerjaan Lansia dan Kebutuhan jaminan Hari Tua di Indonesia

Oleh: Ramadhan | September 19, 2009

STANDART PRAKTEK KEPERAWATAN


Disusun oleh :

1. Eni K.M ( 08.40.010 )

2. Mardiah A. ( 08.40.022 )

3. Setyo Budhi ( 08.40.040 )

4. Vinta Wahyu S.W ( 08.40.046 )

Pembimbing : Erfandi


A. DEFINISI

Menurut Persatuan Perawat Nasional Indonesia, praktik keperawatan adalah tindakan pemberian asuhan perawat professional baik secara mandiri maupun kolaborasi, yang disesuaikan dengan lingkup wewenang dan tanggung jawabnya berdasarkan ilmu keperawatan.

Standar praktek keperawatan adalah suatu pernyataan yang menguraikan suatu kualitas yang diinginkan terhadap pelayanan keperawatan yang diberikan untuk pasien. Standar praktek keperawatan ini digunakan untuk mengetahui proses dan hasil pelayanan keperawatan yangdiberikan kepada pasien sebagai fokus utamanya. Kepuasan pasien yang mengacu pada penerapan standar praktek keperawatan pada dasarnya mencakup panilaian kepuasan pasien mengenai : Hubungan perawat-klien/pasien, kenyamanan pelayanan, kebebasan melakukan pilihan, pengatahuan dan kompetensi tekhnis perawat, efektivitas pelayanan keperawatan dan keamanan tindakan keperawatan.

Praktik keperawatan professional mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

1. otonomi dalam pekerjaan

2. bertanggung jawab, dan bertanggung gugat

3. pengambilan keputusan yang mandiri

4. kolaborasi dengan disiplin lain

5. pemberian pembelaan (advocacy), dan

6. memfasilitasi kepentingan pasien/klien

B. KLASIFIKASI

1. Perawat dan Pelaksanaan Praktik Keperawatan

Perawat memegang peranan penting dalam menentukan dan melaksanakan standart praktik keperawatan untuk mencapai kemampuan yang sesuai dengan standart pendidikan keperawatan. Perawat dapat mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya secara aktif untuk menopang perannya dalam situasi tertentu. Perawat sebagai anggota profesi, setiap saat dapat mempertahankan sikap sesuai dengan standart profesi keperawatan.

2. Nilai-nilai Pribadi dan Praktik Profesional

Adanya perkembangan dan perubahan yang terjadi pada ruang lingkup praktik keperawatan dan bidang teknologi medis akan mengakibatkan terjadinya peningkatan konflik antara nilai-nilai pribadi yang memiliki perawat dengan pelaksanaan praktik yang dilakukannya sehari-hari.

Selain itu, pihak atasan membutuhkan bantuan dari perawat untuk melaksanakan tugas pelayanan keperawatan tertentu; dilain pihak, perawat mempunyai hak untuk menerima atau menolak tugas tersebut sesuai dengan nilai-nilai pribadi mereka.

Contoh : Bantuan perawat sangat dibutuhkan untuk melakukan aborsi terapeutik pada pasien, padahal perawat tersebut berkeyakinan bahwa aborsi adalah tindakan yang berdosa. Pada kasus ini perawat tersebut berhakuntuk menolak tugas itu karena hal itu bertentangan dengan nilai-nilai pribadinya dan ia dapat mengalihkan tugas tersebut pada perawat lain yang mempunyai pandangan berbeda.

C. STANDART PRATIK KEPERAWATAN KLINIK DARI ANA

Standart Perawatan

Menguraikan tingkat asuhan keperawatan yang kompeten seperti yang diperlihatkan oleh proses keperawatan yang mencakup semua tindakan penting yang dilakukan oleh perawat dalam memberikan perawatan, dan membentuk dasar pengambilan keputusan klinik :

1. Pengkajian : perawat mengumpulkan data kesehatan pasien

2. Diagnosa : perawat menganalisis data yang diperoleh melalui pengkajian untuk menentukan diagnose

3. Identifikasi hasil : perawat mengidentifikasi hasil yang diharapkan secara individual pada pasien

4. Perencanaan : perawat membuat rencana perawatan yang memuat intervensi-intervensi untuk mencapai hasil yang diharapkan

5. Implementasi : perawat mengimplementasikan intervensi-intervensi yang telah diidentifikasi dalam rencana perawatan

6. Evaluasi : perawat mengevaluasi kemajuan pasien terhadap pencapaian hasil

Standart Kinerja Profesional

Menguraikan perang yang diharapkan dari semua perawat professional yang sesuai pendidikan, komposisi, dan lingkugan praktik mereka.

1. Kualitas perawatan :perawat secara sistematis mengevaluasi kualitas dan keefektifan praktik keperawatan

2. Penilaian kinerja : perawat mengevaluasi praktik keperawatan dirinya sendiri dalam hubungannya dengan standart-standart praktik professional dan dengan statute dan peraturan yang relevan

3. Pendidikan : perawat mendapatkan dan mempertahankan pengetahuan sekarang dalam praktik keperawatan

4. Kesejawatan : perawat memberikan kontribusi pada perkembangan profesi dari teman sejawat, kolega dan yang lainnya

5. Etik : keputusan dan tindakan perawat atas nama pasien ditentukan dengan cara etis

6. Kolaborasi : perawat melakukan kolaborasi dengan pasien, kerabat lain, dan pemberi perawatan kesehatan dalam memberikan perawatan pada pasien

7. Riset : perawat menggunakan temuan riset dala praktik

8. Penggunaan sumber : perawat mempertimbangkan factor-faktor yang berhubunngan dengan keamanan. Keefektifan dan biaya dalam merencanakan dan memberikan perawatan pada pasien.

D. LISENSI PRAKTIK

Badan yang berwewnang memberikan lisensi berhak dan bertanggung jawab terhadap pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh praktisi yang melakukan pelanggaran etis.

Hukum atau undang – undang tidak mengidentifikasi mutu kinerja, akan tetapi hanya menjamin keselamatan pelaksanaan standart praktik keperawatan secara minimal.

Undang – undang kesehatan RI No.23 tahun 1992, Bab V Pasal 32 ayat 2 dan 3 menyebutkan :

Ayat ( 2 )

Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dilakukan dengan pengobatan dan atau perawatan.

Ayat ( 3 )

Pengobatan dan atau perawatan dapat dilakukan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan atau cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan.

Isi undang – undang tersebut, dapat diartikan bahwa lisensi sangat diperlukan oleh perawat professional dalam melakukan kegiatan praktik secara bertanggung jawab.Pengertian lisensi adalah kegiatan administrasi yang dilakukan oleh profesei atau Departemen Kesehatan berupa penerbitan surat ijin praktik bagi perawat professional diberbagai tatanan layanan kesehatan. Lisensi diberikan bagi perawat sesuai Keputusan Menteri Kesehatan RI No.647 / Menkes / SK / IV / 2000 tentang Registrasi dan praktik perawat.

Washington State Nursing Practice Act ( The State Nurses Association ) menyatakan bahwa seorang yang terdaftar ( registered nurse ) secara langsung bertanggung gugat dan bertanggung jawab terhadap individu untuk memberikan pelayanan keperawatan yang berkualitas. American Nurse Asscotiation ( ANA ) membuat pernyataan yang sama dalam undang – undang lisensi perawat.Apabila dibutuhkan untuk mengganti lisensi institusional menjadi lisensi individual, keperawatan secara konsisten dapat mempertahankan :

a. Asuhan Keperawatan yang berkualitas, baik sesuai tanggung jawab maupun tanggung gugat perawat yang merupakan bagian dari lisensi profesi.

b. Bila perawat meyakini bahwa profesi serta kontribusinya terhadap asuhan kesehatan adalah penting, maka mereka akan tampil dengan percaya diri dan penuh tanggung jawab.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zaidin,H.2001.Dasar – dasar Keperawatan Profesional.Jakarta: Widya Medika

Doenges, Marilynn E.1998.Penerapan Proses Keperawatan dan Diagnosa Keperawatan; alih bahasa, I Made Kariasa ; editor, Setiawan.Jakarta: EGC

Ismani, Nila, Hj.2001.Etika Keperawatan.Jakarta: Widya Medika

Oleh: Ramadhan | September 19, 2009

berbagai tantangan dalam profesi keperawatan

DISUSUN OLEH :

1. BAYU ANDRIONO (08.40.005)

2. FATIMAH (08.40.011)

3. FIRLY MAULITA (08.40.012)

4. SITI KAMILA (08.40.041)

PEMBIMBING : ERFANDI S,Kep Ners


A. DEFINISI

Tantangan profesi keperawatan adalah profesi yang sudah mendapatkan pengakuan dari profesi lain, dituntut untuk mengembangkan dirinya untuk berpartisipasi aktif dalam sistem pelayanan kesehatan agarkeberadaannya mendapat pengakuan dari masyarakat. Untuk mewujudkan pengakuan tersebut, maka perawat masih harus memperjuangkan langkah-langkah profesionalisme sesuai dengan keadaan dan lingkungan sosial.

Tantangan internal profesi keperawatan adalah meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) tenaga keperawatan sejalan dengan telah disepakatinya keperawatan sebagai suatu profesi pada lokakarya nasional keperawatan tahun 1983, sehingga keperawatan dituntut untuk memberikan pelayanan yang bersifat professional.

Tantangan eksternal profesi keperawatan adalah kesiapan profesi lain untuk menerima paradigma baru yang kita bawa.

Professional keperawatan adalah proses dinamis dimana profesi keperawatan yang telah terbentuk (1984) mengalami perubahan dan perkembangan karakteristik sesuai dengan tuntutan profesi dan kebutuhan masyarakat.

B. KLASIFIKASI

Adapun klasifikasi dari tantangan profesi keperawatan meliputi :

1. Terjadi pergeseran pola masyarakat Indonesia

(a). Pergeseran pola masyarakat agrikultural ke masyarakat industri dan masyarakat tradisional berkembang menjadi masyarakat maju.

(b). Pergeseran pola kesehatan yaitu adanya penyakit dengan kemiskinan seperti infeksi, penyakit yang disebabkan oleh kurang gizi dan pemukiman yang tidak sehat, adanya penyakit atau kelainan kesehatan akibat pola hidup modern.

(c). Adanya angka kematian bayi dan angka kematian ibu sebagai indikator derajat kesehatan.

(d). Pergerakan umur harapan hidup juga mengakibatkan masalah kesehatan yang terkait dengan masyarakat lanjut usia seperti penyakit generatif.

(e). Masalah kesehatan yang berhubungan dengan urbanisasi, pencemaran kesehatan lingkungan dan kecelakaan kerja cenderung meningkat sejalan dengan pembangunan industry.

(f). Adanya pegeseran nilai-nilai keluarga mempegaruhi berkembangnya kecenderungan keluarga terhadap anggotanya menjadi berkurang.

(g). Kesempatan mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi dan penghasilan yang lebih besar membuat masyarakat lebih kritis dan mampu membayanr pelayanan kesehatan yang bermutu dan dapat dipertanggungjawabkan.

2. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

Perkembangan IPTEK menuntut kemampuan spesifikasi dan penelitian bukan saja dapat memanfaatkan IPTEK, tetapi juga untuk menapis dan memastikan IPTEK sesuai dengan kebutuhan dan social budaya masyarakat Indonesia yang akan diadopsi. IPTEK juga berdampak pada biaya kesehatan yang makin tinggi dan pilihan tindakan penanggulangan masalah kesehatan yang makin banyak dan kompleks selain itu dapat menurunkan jumlah hari rawat (Hamid, 1997; Jerningan,1998). Penurunan jumlah hari rawat mempengaruhi kebutuhan pelayanan kesehatan yang lebih berfokus kepada kualitas bukan hanya kuantitas, serta meningkatkankebutuhan untuk pelayanan / asuhan keperawatan di rumah dengan mengikutsetakan klien dan keluarganya. Perkembangan IPTEK harus diikuti dengan upaya perlindungan terhadap untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang aman, hak untuk diberitahu, hak untuk memilih tindakan yang dilakukan dan hak untuk didengarkan pendapatnya. Oleh karena itu, pengguna jasa pelayanan kesehatan perlu memberikan persetujuan secara tertulis sebelum dilakukan tindakan (informed consent)

3. Globalisasi dalam pelayanan kesehatan

Globalisasi yang akan berpengaruh terhadp perkembangan pelayanan kesehatan termasuk pelayanan keperawatan ada 2 yaitu ;

(a). Tersedianya alternatif pelayanan

(b). persaingan penyelenggaraan pelayanan untuk menarik minat pemakai jasa pemakai kualitas untuk memberikan jasa pelayanan kesehatan yang terbaik.

Untuk hal ini berarti tenaga kesehatan, khususnya tenaga keperawatan diharapkan untuk dapat memenuhi standar global dalam memberikan pelayanan / asuhan keperawatan. Dengan demikian diperlukan perawat yang mempunyai kemampuan professional dengan standar internasional dalam aspekintelektual,interpersonal dan teknikal, bahkan peka terhadap perbedaan social budaya dan mempunyai pengetahuan transtrutural yang luas serta mampu memanfaatkan alih IPTEK.

4. Tuntutan profesi keperawatan

Keyakinan bahwa keperawatan merpakan profesi harus disertai dengan realisasi pemenuhan karakteristik keperawatan sebagai profesi yang disebut dengan professional (Kelly & Joel,1995). Karakteristik profesi yaitu ;

(a). Memiliki dan memperkaya tubuh pengetahuan melalui penelitian

(b). Memiliki kemampuan memberikan pelayanan yang unik kepada orang lain

(c). Pendidikan yang memenuhi standar

(d). Terdapat pengendalian terhadap praktek

(e). Bertanggug jawab & bertanggung gugat terhadap tindakan yang dilakukan

(f). Merupakan karir seumur hidup

(g). Mempunyai fungsi mandiri dan kolaborasi.

Praktek keperawatan sebagai tindakan keperawatan professional masyarakat penggunaan pengetahuan teoritik yang mantap dan kokoh dari berbagai ilmu keperawatan sebagai landasan untuk melakukan pengkajian, menegakkan diagnostik, menyusun perencanaan, melaksanakan asuhan keperawatan dan mengevaluasi hasil tindakan keperawatan serta mengadakan penyesuaian rencana keperawatan untuk menentukan tindakan selanjutnya. Selain memiliki kemampuan intelektual, interpersonal dan teknikal, perawat juga harus mempunyai otonomi yang berarti mandiri dan bersedia menanggung resiko, bertanggung jawab dan bertanggung gugat terhadap tindakan yang dilakukannya, termasuk dalam melakukan dan mengatur dirinya sendiri.

C. TANTANGAN PROFESI KEPERAWATAN

Tantangan profesi perawat di Indonesia di abad 21 ini semakin meningkat. Seiring tuntutan menjadikan profesi perawat yang di hargai profesi lain. Profesi keperawatan dihadapkan pada banyak tantangan. Tantangan ini tidak hanya dari eksternal tapi juga dari internal profesi ini sendiri. Pembenahan internal yang meliputi empat dimensi dominan yaitu; keperawatan, pelayanan keperawatan, asuhan keperawatan dan praktik keperawatan. Belum lagi tantangan eksternal berupa tuntutan akan adanya registrasi, lisensi, sertifikasi, kompetensi dan perubahan pola penyakit, peningkatan kesadaran masyarakat akan hak dan kewajiban, perubahan system pendidikan nasional, serta perubahan-perubahan pada supra system dan pranata lain yang terkait.

Untuk menjawab tantangan-tantangan itu dibutuhkan komitmen dari semua pihak yang terkait dengan profesi ini, organisasi profesi, lembaga pendidikan keperawatan juga tidak kalah pentingnya peran serta pemerintah. Organisasi profesi dalam menentukan standarisasi kompetensi dan melakukan pembinaan, lembaga pendidikan dalam melahirkan perawat-perawat yang memiliki kualitas yang diharapkan serta pemerintah sebagai fasilitator dan memiliki peran-peran strategis lainnya dalam mewujudkan perubahan ini. Profesi memiliki beberapa karakteristik utama sebagai berikut;

1. Suatu profesi memerlukan pendidikan lanjut dari anggotanya, demikian juga landasan dasarnya.

2. Suatu profesi memiliki kerangka pengetahuan teoritis yang mengarah pada keterampilan, kemampuan, pada orma-norma tertentu.

3. Suatu profesi memberikan pelayanan tertentu.

4. Anggota dari suatu profesi memiliki otonomi untuk membuat keputusan dan melakukan tindakan.

5. Profesi sebagai satu kesatuan memiliki kode etik untuk melakukan praktik keperawatan.

Perawat mempunyai tantangan yang sangat banyak salah satunya yaitu menjalakan tanggung jawab dan tanggung gugat yang besar. Tantangan dalam profesi keperawatan salah satunya yaitu mempunyai tanggung jawab yang tinggi, tanggung jawab tersebut tidak hanya kepada kliennya saja tetapi tanggung jawab yang diutamakan yaitu tanggung jawab terhadap Tuhannya (Responsibility to God), tanggung jawab tehadap klien dan masyarakat (Responsibility to Client and Society), dan tanggung jawab terhadap rekan sejawat dan atasan (Responsibility to Colleague and Supervisor).

Tanggung jawab secara umum, yaitu;

1. Menghargai martabat setiap pasien dan keluargannya.

2. Menghargai hak pasien untuk menolak pengobatan, prosedur atau obat-obatan tertentu dan melaporkan penolakan tersebut kepada dokter dan orang-orang yang tepat di tempat tersebut.

3. Menghargai setiap hak pasien dan keluarganya dalam hal kerahasiaan informasi.

4. Apabila didelegasikan oleh dokter menjawab pertanyaan-pertanyaan pasien dan memberi informasi yang biasanya diberikan oleh dokter.

5. Mendengarkan pasien secara seksama dan melaporkan hal-hal penting kepada orang yang tepat.

Dan tanggung gugat yang menjadi salah satu tantangan dalam profesi keperawatan didasarkan peraturan perundang-undangan yang ada. Tanggung gugat bertujua untuk : (1). Mengevaluasi praktisi-praktisi professional baru dan mengkaji ulang praktisi-praktisi yang sudaj ada, (2). Mempertahankan standart perawatan kesehatan, (3). Memberikan fasilitas refleksi professional, pemikiran etis dan pertumbuhan pribadi sebagai bagian dari professional perawatan kesehatan, (4). Memberi dasar untuk membuat keputusan etis.

Tanggung gugat pada setiap tahap proses keperawatan, meliputi:

1. Tahap Pengkajian

  • Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan yang mempunyai tujuan mengumpulkan data.
  • Perawat bertanggung gugat untuk pengumpulan data atau informasi, mendorong partisipasi pasien dan penentuan keabsahan data yang dikumpulkan.
  • Pada saat mengkaji perawat bertanggung gugat untuk kesenjangan-kesenjangan dalam data yang bertentangan data yang tidak atau kurang tepat atau data yang meragukan.

2. Tahap Diagnosa Keperawatan

  • Diagnosa merupakan keputusan professional perawat menganalisa data dan merumuskan respon pasien terhadap masalah kesehatan baik actual atau potensial.
  • Perawat bertanggung gugat untuk keputusan yang dibuat tentang masalah-masalah kesehatan pasien seperti pernyataan diagnostic (masalah kesehatan yang timbul pada pasien apakan diakui oleh pasien atau hanya perawat)
  • Apakah perawat mempertimbangkan nilai-nilai, keyakinan dan kebiasaan atau kebudayaan pasien pada waktu menentukan masalah-masalah kesehatan

3. Tahap Perencanaan

  • Perencanaan merupakan pedoman perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan, terdiri dari prioritas masalah, tujuan serta rencana kegiatan keperawatan.
  • Tanggung gugat yang tercakup pada tahap perencanaan meliputi: penentuan prioritas, penetapan tujuan dan perencanaan kegiatan-kegiatan keperawatan.
  • Langkah ini semua disatukan ke dalam rencana keperawatan tertulis yang tersedia bagi semua perawat yang terlibat dalam asuhan keperawatan pasien.
  • Pada tahap ini perawat juga bertanggung gugat untuk menjamin bahwa prioritas pasien juga dipertimbangkan dalam menetapkan prioritas asuhan.

4. Tahap Implementasi

  • Implementasi keperawatan adalah pelaksanaan dari rencana asuhan keperawatan dalam bentuk tindakan-tindakan keperawatan.
  • Perawat bertanggung gugat untuk semua tindakan yang dilakukannya dalam memberikan asuhan keperawatan.
  • Tindakan-tindakan tersebut dapat dilakukan secara langsung atau dengan bekerja sama dengan orang lain atau dapat pula didelegasikan kepada orang lain.
  • Kegiatan keperawatan harus dicatat setelah dilaksanakan, oleh sebab itu dibuat catatan tertulis.

5. Tahap Evaluasi

  • Evaluasi merupakan tahap penilaian terhadap hasil tindakan keperawatan yang telah diberikan, termasuk juga menilai semua tahap proses keperawatan.
  • Perawat bertanggung gugat untuk keberhasilan atau kegagalan tindakan keperawatan.
  • Perawat harus dapat menjelaskan mengapa tujuan pasien tidak tercapai dan tahap mana dari proses keperawatan yang perlu dirubah dan mengapa hal itu terjadi.

Setiap tantangan yang meliputi tanggung jawab dan tanggung gugat mempunyai bagian masing-masing. Dapat disimpulkan bahwa menghadapi tantangan yang sangat berat tersebut, diperlukan perawat dengan sikap yang selalu dilandasi oleh kaidah etik profesi. Upaya yang paling strategik untuk dapat menghasilkan perawat pofesional melalui pendidikan keperawatan profesional.

Adapun keperawatan sebagai suatu profesi memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Memberi pelayanan atau asuhan dan melakukan penelitian sesuai dengan kaidah ilmu dan ketrampilan serta kode etik keperawatan.

2. Telah lulus dari pendidikan pada Jenjang Perguruan Tinggi (JPT) sehingga diharapkan mampu untuk :

(a). Bersikap professional,

(b). Mempunyai pengetahuan dan ketrampilan professional

(c). Memberi pelayanan asuhan keperawatan professional, dan

(d). Menggunakan etika keperawatan dalam memberi pelayanan.

3. Mengelola ruang lingkup keperawatan berikut sesuai dengan kaidah suatu profesi dalam bidang kesehatan, yaitu:

(a). Sistem pelayanan atau asuhan keperawatan

(b). Pendidikan atau pelatihan keperawatan yang berjenjang dan berlanjut

(c). perumusan standar keperawatan (asuhan keperawatan, pendidikan keperawatan registrasi atau legislasi), dan

(d). Melakukan riset keperawatan oleh perawat pelaksana secara terencana dan terarah sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zaidin,H.2001.Dasar-dasar keperawatan professional.Jakarta: Widya Medika.

Potter, Praticia A.2005.Buku ajar fundamental keperawatan edisi 4.Jakarta: EGC.


DISUSUN OLEH:

  1. CHOFRIANA K.W (08.006)
  2. MOCH. EKO S .(08.0)
  3. PUTRI AYU D.P (08.033)
  4. RAFIKA DEWI E.P (08.034)

PEMBIMBING:

ERFANDI.S.Kep,Ns


A. PENDAHULUAN

Praktek keperawatan ditentukan dalam standar organisasi profesi dan system pengaturan serta pengendaliannya melalui perundang – undangan keperawatan (Nursing Act), dimanapun perawat itu bekerja (PPNI, 2000).Keperawatan hubungannya sangat banyak keterlibatan dengan segmen manusia dan kemanusiaan, oleh karena berbagai masalah kesehatan actual dan potensial. Keperawatan memandang manusia secara utuh dan unik sehingga praktek keperawatan membutuhkan penerapan ilmu Pengetahuan dan keterampilan yang kompleks sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan objektif pasien/klien. Keunikan hubungan perawat dan klien harus dipelihara interaksi dinamikanya dan kontuinitasnya.
Penerimaan dan pengakuan keperawatan sebagai pelayanan professional diberikan dengan perawat professional sejak tahun 1983, maka upaya perwujudannya bukanlah hal mudah di Indonesia. Disisi lain keperawatan di Indonesia menghadapi tuntutan dan kebutuhan eksternal dan internal yang kesemuanya membutuhkan upaya yang sungguh – sungguh dan nyata keterlibatan berbagai pihak yang terkait dan berkepentingan.

B. FALSAFAH KEPERAWATAN

  1. Pengertian falsafah

Falsafah adalah pengetahuan dan penyelidikan denga akal budi mengenai sebab-sebab, azas-azas, hukum,dan sebagainya daripada segala yang ada dalam alam semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti adanya sesuatu (WJS Poerwadarminta.

Falsafah keperawatan adalah pandangan dasar tentamg hakikat manusia dan esensi keperawatan yang menjadikan kerangka dasar dalam praktik keperawatan.

Falsafah Keperawatan bertujuan mengarahkan kegiatan keperawatan yang dilakukan.. Keperawatan menganut pandangan holistik terhadap manusia yaitu kebutuhan manusia bio-psiko-sosial-spiritual.
Kegiatan keperawatan dilakukan dengan pendekatan humanistik, dalam arti menghargai dan menghormati martabat manusia, memberi perhatian kepada klien serta, menjunjung tinggi keadilan bagi sesama manusia.
Keperawatan bersifat universal dalam arti tidak membedakan atas ras, jenis kelamin, usia, warna kulit, etik, agama, aliran politik, dan status sosial ekonomi. Keperawatan adalaFalsafah keperawatan mengkaji penyebab dan hukum-hukum yang mendasari realitas, serta keingintahuan tentang gambaran sesuatu yang lebih berdasakan pada alasan logis daripada metoda empiris.
Falsafah keperawatan menurut Roy (Mc Quiston, 1995) :
Roy memiliki delapan falsafah, empat berdasarkan falsafah prinsip humanisme dan empat berdasarkan prinsip falsafah veritivity.
falsafah humanisme/ kemanusiaan “mengenali manusia dan sisi subyektif manusia dan pengalamannya sebagai pusat rasa ingin tahu dan rasa menghargai”. Sehingga ia berpendapat bahwa seorang individu :
1. saling berbagi dalam kemampuan untuk berpikir kreatif yang digunakan untuk mengetahui masalah yang dihadapi, mencari solusi
2. bertingkahlaku untuk mencapai tujuan tertentu, bukan sekedar memenuhi hukum aksi-reaksi
3. memiliki holism intrinsik
4. berjuang untuk mempertahankan integritas dan memahami kebutuhan untuk memiliki hubungan dengan orang lain veritivity. Berarti kebenaran, yang bermaksud mengungkapkan keyakinan Roy bahwa ada hal yang benar absolut. Ia mendefinisikan veritivity sebagai “prinsip alamiah manusia yang mempertegas tujuan umum keberadaan manusia”. Empat falsafah yang berdasarkan prinsip veritivity adalah sebagai berikut ini. Individu dipandang dalam konteks
1. tujuan eksistensi manusia
2. gabungan dari beberapa tujuan peradaban manusia
3. aktifitas dan kreatifitas untuk kebaikan-kebaikan umum
4. nilai dan arti kehidupan

bagian integral dari pelayanan kesehatan. Keperawatan menganggap klien sebagai pertner aktif, dalam arti perawat selalu bekerjasama dengan klien dalam pemberian asuhan keperawatan.

C. PARADIGMA KEPERAWATAN

1. Pengertian Paradigma

Paradigma keperawatan sebagai pandangan fundamental tentang persoalan dalam suatu cabang ilmu pengetahuan(Masterman,1970).

Paradigma sebagai suatu perangkat bantuan yang memiliki nilai tanggi dan sangat menentukan bagi penggunanya untuk dapat memiliki pola dan cara pandang dasar kas dalam memikirkan,memyikapi dan memilih tindakan mengenai suatu kenyataan atau fenomena kehidupan manusia.

Ritzer dalam zamroni, membuat pengertian tentang paradigma yaitu pandangan yang mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh salah satu cabang atau disiplin ilmu pengetahuan. Dari pengertian ini dapat disimpulkan, dalam suatu cabang ilmu pengetahuan dimungkinkan terdapat beberapa paradigma. Artinya dimungkinkan terdapatnya beberapa komunitas ilmuwan yang masing-masing berbeda titik pandangnya tentang apa yang menurutnya menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari dan diteliti oleh cabang ilmu pengetahuan tersebut. (ahmad sihabudin dalam Jurnal Kampus Tercinta, 1996 : 43).

Paradigma keperawatan menurut Gaffar, 1997, adalah cara pandang yang mendasar atau cara kita melihat, memikirkan, memberi makna, mmenyikapi dan memilih tindakanterhadap berbagai fenomena yang ada dalam keperawatan. Dengan demikian paradigma keperawatan berfungsi sebagai acuan atau dasar dalam melaksanakan praktek keperawatan yang bersifat professional.

Penjelasan paradigma fakta sosial berasal dari pendapat Durkheim. Fakta sosial dianggap sebagai barang sesuatu yang berbeda dengan ide yang menjadi obyek penyelidikan seluruh ilmu pengetahuan dan tidak dapat dipahami melalui kegiatan mental murni. Tetapi untuk memahaminya diperlukan penyusunan data riil di luar pemikiran manusia. Fakta sosial ini terdiri atas dua jenis, yaitu :
1. Bentuk material, berupa barang sesuatu yang dapat dilihat, ditangkap dan diobservasi,
2. Dalam bentuk non material, merupakan fenomena yang terkandung dalam diri manusia hanya muncul dalam kesadaran manusia (zamroni, 1992:24)
penjelasan paradigma definisi sosial bersumber dari karya Weber yang konsepsinya tentang fakta sosial sangat berbeda dengan konsep Durkheim. Weber tidak memisahkan antara struktur sosial dengan pranata sosial karena keduanya sama-sama membantu untuk membentuk tindakan manusia yang penuh makna (Zamroni, 1992 : 53)

KOMPONEN PARADIGMA KEPERAWATAN

1. Konsep manusia

Komponen ini merupakan komponen pertama sebagai salah satu fokus dari pelayanan keperawatan.manusia bertindak sebagai klien dalam konteks paradigma keperawatan ini bersifat individu,kelompok dan masyarakat daam suatu sistem.sistem tersebut dapat meliputi:

a.sistem terbuka,manusia dapat mempengaruhi dan di paengaruhi oleh lingkungan baik fisik,psikologis,sosial maupun spiritual sehingga proses perubahan pada manusia akan selalu terjadi khususnya dalam pemenuhan kebutuhan dasar.

b.sistem adaptif,manusia akan merespon terhadap perubahan yang ada di lingkungannya yang akan selalu menunjukkan perilaku adaptif dan maladaftif.

c.sistem personal,interpersonal dan social,manusia memiliki persepsi,pola kepribadian dan tumbuh kembang yang berbeda.

2. Konsep keperawatan

Konsep ini adalah suatu bentuk peleyanan kesehatan yang bersifat profesional dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia yang dapat ditunjukkan kepada individu,keluarga atau masyarakat dalam rentang sehat sakit.dengan demikian konsep ini memandang bahwa bentuk pelayanan keperawatan yang diberikan pada klien dalam bentuk pemberian asuhan keperawatan adalah dalam keadaan tidak mampu,tidak mau dan tidak tahu dalam proses pemenuhan kebutuhan dasar.

3. Konsep sehat sakit

Komponen ini memandang bahwa keperawatan itu bahwa bentuk pelayanan yang diberikan pada manusia dalam rentang sehat sakit.

Konsep Sehat (Travis and Ryan, 1998)

1. Sehat merupakan pilihan, suatu pilihan dalam menentukan kesehatan

2. Sehat merupakan gaya hidup, disain gaya hidup menuju pencapaian potensial tertinggi untuk sehat

3. Sehat merupakan proses, perkembangan tingkat kesadaran yang tidak pernah putus, kesehatan dan kebahagiaan dapat terjadi di setiap momen, ”here and now.”

4. Sehat efisien dalam mengolah energi, energi yang diperoleh dari lingkungan, ditransfer melalui manusia, dan disalurkan untuk mempengaruhi lingkungan sekitar.

5. Sehat integrasi dari tubuh, pikiran dan jiwa, apresiasi yang manusia lakukan, pikirkan, rasakan dan percaya akan mempengaruhi status kesehatan.

6. Sehat adalah penerimaan terhadap diri.

a. Rentang sehat

Rentang ini diawali dari status kesehatan sehat normal,sehat sekali dan sejahtera.dikatakan sehat bukan hanya bebas dari penyakit akan tetapi juga meliputi aspek fisik,emosi,sosial dan spiritual.maka dapat diketahui karakteristik sehat sebenarnya adalah: pertama, memiliki kemampuan merefleksikan perhatian pada individu sebagai manusia;kedua, memiliki pandangan terhadap sehat dalam konteks lingkungan; dan ketiga, memiliki hidup yang kreatif dan produktif keyakinan terhadap kesehatan adalah pendapat, keyakinan, dan sikap seseorang terhadap sehat dan sakit. Keyakinan terhadap kesehatan didasarkan informasi yang faktual/kesalahan informasi, pikiran sehat/mitos, dan kenyataan atau harapan yang salah. Karena keyakinan terhadap kesehatan biasanya mempengaruhi perilaku sehat, maka keyakinan tersebut dapat berpengaruh secara positif/negatif terhadap tingkat kesehatan klien.

Keyakinan klien terhadap kesehatan bergantung pada beberapa faktor antara lain persepsi tentang tingkat sehat, faktor-faktor yang dapat di modifikasi seperti demografi(misal jenis dan tempat perumahan), kepribadian, dan persepsi terhadap keuntungan yang dapat diperoleh dari perilaku sehat yang positif. Faktor pengaruh stasus kesehatan, antara lain:

1.Perkembagan

Status kesehatan dapat dipengaruhi oleh faktor perkembangan yang mempuyai arti bahwa perubahan status kesehatan dapat ditentukan oleh faktor usia.

2.Sosial dan Kultural

Hal ini dapat juga mempengaruhi proses perubahan bahan status kesehatan seseorang karena akan mempengaruhi pemikiran atau keyakinan sehingga dapat menimbulkan perubahan dalam perilaku kesehatan.

3.Pengalama Masa Lalu

Hal ini dapat mempegaruhi perubahan status kesehatan,dapat diketahiu jika ada pengalaman kesehatan yang tidak diinginkan atau pengalamam kesehatan yang buruk sehingga berdampak besar dalam status kesehatan selanjutya.

4.Harapan seseorang tentang dirinya

Harapan merupakan salah satu bagian yang penting dalam meningkatkan perubahan status kesehatan kearah yang optimal.

5.Keturunan

Keturunan juga memberikan pengaruh terhadap status kesehatan seseorang mengingat potensi perubahan status kesehatan telah dimiliki melalui faktor genetik.

6.Lingkungan

Lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan fisik.

7.Pelayanan

Pelayanandapat berupa tempat pelayanan atau sistem pelayanan yang dapat mempengaruhi status kesehatan

b.Rentang sakit

Rentang ini dimulai dari keadaan setengah sakit,sakit,sakit kronis dan kematian.

Tahapan proses sakit

1.Tahap gejala

Merupakan tahap awal seseorang mengalami proses sakit dengan ditandai adanya perasaan tidak nyaman terhadap dirinya karena timbulnya suatu gejala.

2.Tahap asumsi terhadap sakit

Pada tahap inin seseorang akan melakukan interpretasi terhadap sakit yang di alaminya dan akan merasakan keraguan pada kelainan atau gangguan yang di rasakan pada tubuhnya.

3.Tahap kontak dengan pelayanan kesehatan

Tahap ini seorang mengadakan hubungan dengan pelayanan kesehatan dengan meminta nasehat dari profesi kesehatan.

5.Tahap penyembuhan

Tahap ini merupakan tahapan terakhir menuju proses kembalinya kemampuan untuk beradaptasi,di mana srsrorang akan melakukan proses belajar untuk melepaskan perannya selama sakit dan kembali berperan seperti sebelum sakit.

4. Konsep lingkungan

Paradigma keperwatan dalam konsep lingkungan ini adalah memandang bahwa lingkunan fisik,psikologis ,sosial, budaya dan spiritual dapat mempengaruhi kebutuhan dasar manusia selama pemberian asuhan keperawatan dengan meminimalkan dampak atau pengaruh yang ditimbulkannya sehingga tujuan asuhan keperawatan dapat tercapai.

  1. DAFTAR PUSTAKA

Hidayat,Aziz Alimul. Pengantar Konsep Dasar Keperawatan.Salemba medika:Jakarta.

Potter and Perry. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Edisi 4. EGC:Jakarta.

http://www.inna-ppni.or.id/html

http://www.nursepoint.blogspot.com

http://www.perawattegal.wordpress.com

http://www.ridwanaz.com

Oleh: Ramadhan | September 19, 2009

PENUAAN PADA SISTEM SENSORI

DISUSUN OLEH :
( DIANA SAFITRI & 07.40.058)

PEMBIMBING : ERFANDI

diana gerontik.docx

Oleh: Ramadhan | September 19, 2009

PENUAAN PADA SISTEM SENSORI

DISUSUN OLEH :
( DIANA SAFITRI & 07.40.058)

PEMBIMBING : ERFANDI

diana gerontik.docx

Oleh: Ramadhan | September 19, 2009

PENGKAJIAN DAN PENCEGAHAN JATUH PADA LANSIA

DISUSUN OLEH :
( IIS CHOLILAH & 07.4071)

PEMBIMBING : ERFANDI

A. DEFINISI

Jatuh adalah suatu kejadian yang di laporkan penderita atau saksi mata ,yang melibatkan seseorang mendadak terbaring/terduduk di lantai /tempat yang lebih rendah atau tanpa kehilangan kesadaran atau luka (Reuben)

Jatuh sering terjadi atau dialami oleh usia lanjut .Banyak faktor berperan di  dalamnya ,kelemahan otot ekstremitas bawah kekakuan sendi ,sinkope dan dizzines ,serta faktor ekstrinsik sertai lantai yang licin dan tidak rata tersandung benda-benda ,pengelihatan kurang terang dan sebagainya.

Tidak mengejutkan bahwa jatuh merupakan kejadian yang mempercepat patah tulang pada orang dengan kepadatan mineral tulang {Bone Mineral Density(BMD)} rendah. Jatuh dapat dicegah sehingga akan mengurangi risiko patah tulang. Jatuh adalah penyebab terbesar untuk patah tulang pinggul dan berkaitan dengan meningkatnya risiko yang berarti terhadap berbagai patah tulang meliputi punggung, pergelangan tangan, pinggul, lengan bagian atas.Jatuh dapat disebabkan oleh banyak faktor, sehingga strategi pencegahan harus meliputi berbagai komponen agar sukses. Aktivitas fisik meliputi pola gerakan yang beragam seperti latihan kekuatan atau kelas aerobik dapat meningkatkan massa tulang sehingga tulang lebih padat dan dapat menurunkan risiko jatuh. Mengurangi Risiko JatuhBanyak hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko jatuh dan meminimalisir dampak dari jatuh yang terjadi. Pedoman yang dikeluarkan oleh American Geriatrics Society, British Geriatrics Society, dan American Academy of Orthopedi Surgeons pada pencegahan jatuh meliputi beberapa rekomendasi untuk orang tua (AGS et al.2001)

Faktor – faktor lingkungan yang sering dihubungan dengan kecelakaan pada lansia Faktor penyebab jatuh pada lansia dapat dibagi dalam 2 golongan besar, yaitu:

ü                  Faktor Intrinsik

Faktor instrinsik dapat disebabkan oleh proses penuaan dan berbagai penyakit sepertiStroke dan TIA yang mengakibatkan kelemahan tubuh sesisi , Parkinson yang mengakibatkan kekakuan alat gerak, maupun Depresi yang menyebabkan lansia tidak terlalu perhatian saat berjalan . Gangguan penglihatan pun seperti misalnya katarak meningkatkan risiko jatuh pada lansia. Gangguan sistem kardiovaskuler akan menyebabkan syncope, syncope lah yang sering menyebabkan jatuh pada lansia.Jatuh dapat juga disebabkan oleh dehidrasi. Dehidrasi bisa disebabkan oleh diare, demam, asupan cairan yang kurang atau penggunaan diuretik yang berlebihan.

ü                  Ekstrinsik

Alat-alat atau perlengkapan rumah tangga yang sudah tua atau tergeletak di bawah,tempat tidur tidak stabil atau kamar mandi yang rendah dan tempat berpegangan yang tidak kuat atau tidak mudah dipegang, lantai tidak datar, licin atau menurun, karpet yang tidak dilem dengan baik, keset yang tebal/menekuk pinggirnya, dan benda-benda alas lantai yang licin atau mudah tergeser,lantai licin atau basah, penerangan yang tidak baik (kurang atau menyilaukan), alat bantu jalan yang tidak tepat ukuran, berat, maupun cara penggunaannya.

B. PENCEGAHAN

Pencegahan dilakukan berdasar atas faktor resiko apa yang dapat menyebabkan jatuh seperti faktor neuromuskular, muskuloskeletal, penyakit yang sedang diderita, pengobatan yang sedang dijalani, gangguan keseimbangan dan gaya berjalan, gangguan visual, ataupun faktor lingkungan.dibawah ini akan di uraikan beberapa metode pencegahan jatuh pada orang tua :

1. Latihan fisik

Latihan fisik diharapkan mengurangi resiko jatuh dengan meningkatkan kekuatan tungkai dan tangan, memperbaiki keseimbangan, koordinasi, dan meningkatkan reaksi terhadap bahaya lingkungan, latihan fisik juga bisa mengurangi kebutuhan obat-obatan sedatif. Latihan fisik yang dianjurkan yang melatih kekuatan tungkai, tidak terlalu berat dan semampunya, salah satunya adalah berjalan kaki.(1,4,5,6)

2. Managemen obat-obatan

Gunakan dosis terkecil yang efektif dan spesifik di antara:

  1. Perhatikan terhadap efek samping dan interaksi obat
  2. Gunakan alat bantu berjalan jika memang di perlukan selama pengobatan
  3. Kurangi pemberian obat-obatan yang sifatnya untuk waktu lama terutama sedatif dan tranquilisers
  4. Hindari pemberian obat multiple (lebih dari empat macam) kecuali atas indikasi klinis kuat
  5. Menghentikan obat yang tidak terlalu diperlukan

3. Modifikasi lingkungan

Atur suhu ruangan supaya tidak terlalu panas atau dingin untuk menghindari pusing akibat suhu di antara:

  1. Taruhlah barang-barang yang memang seringkali diperlukan berada dalam jangkauan tanpa harus berjalan dulu
  2. Gunakan karpet antislip di kamar mandi.
  3. Perhatikan kualitas penerangan di rumah.
  4. Jangan sampai ada kabel listrik pada lantai yang biasa untuk melintas.
  5. Pasang pegangan tangan pada tangga, bila perlu pasang lampu tambahan untuk daerah tangga.
  6. Singkirkan barang-barang yang bisa membuat terpeleset dari jalan yang biasa untuk melintas.
  7. Gunakan lantai yang tidak licin.
  8. Atur letak furnitur supaya jalan untuk melintas mudah, menghindari tersandung.
  9. Pasang pegangan tangan ditempat yang di perlukan seperti misalnya di kamar mandi.

4. memperbaiki kebiasaan pasien lansia misalnya :

  1. Berdiri dari posisi duduk atau jangkok jangan terlalu cepat.
  2. Jangan mengangkat barang yang berat sekaligus.
  3. Mengambil barang dengan cara yang benar dari lantai.
  4. Hindari olahraga berlebihan.
  5. 5. Alas kaki

Perhatikan pada saat orang tua memakai alas kaki:

  1. Hindari sepatu berhak tinggi, pakai sepatu berhak lebar
  2. Jangan berjalan hanya dengan kaus kaki karena sulit untuk menjaga keseimbangan
  3. Pakai sepatu yang antislip

6. Alat bantu jalan

Terapi untuk pasien dengan gangguan berjalan dan keseimbangan difokuskan untuk mengatasi atau mengeliminasi penyebabnya atau faktor yang mendasarinya.

  1. Penggunaannya  alat bantu jalan memang membantu meingkatkan keseimbangan, namun di sisi lain menyebabkan langkah yang terputus dan kecenderungan tubuh untuk membungkuk, terlebih jika alat bantu tidak menggunakan roda., karena itu penggunaan alat bantu ini haruslah direkomendasikan secara individual.
  2. Apabila pada lansia yang kasus gangguan berjalannya tidak dapat ditangani dengan obat-obatan maupun pembedahan. Oleh karena itu, penanganannya adalah dengan alat bantu jalan seperti cane (tongkat), crutch (tongkat ketiak) dan walker. (Jika hanya 1 ekstremitas atas yang digunakan, pasien dianjurkan pakai cane. Pemilihan cane type apa yang digunakan, ditentukan oleh kebutuhan dan frekuensi menunjang berat badan. Jika ke-2 ekstremitas atas diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan dan tidak perlu menunjang berat badan, alat yang paling cocok adalah four-wheeled walker. Jika kedua ekstremitas atas diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan dan menunjang berat badan, maka pemilihan alat ditentukan oleh frekuensi yang diperlukan dalam menunjang berat badan.

7.  Periksa fungsi penglihatan dan pendengaran.

8. Hip protektor : terbukti mengurangi resiko fraktur pelvis.


9. Memelihara kekuatan tulang

  1. Suplemen nutrisi terutama kalsium dan vitamin D terbukti meningkatkan densitas tulang dan mengurangi resiko fraktur akibat terjatuh pada orang tua
  2. Berhenti merokok
  3. Hindari konsumsi alkohol
  4. Latihan fisik
  5. Anti-resorbsi seperti biophosphonates dan modulator reseptor estrogen
  6. Suplementasi hormon estrogen / terapi hormon pengganti.

C. PENGKAJIAN

Pengkajian klien dengan resiko injuri meliputi: pengkajian resiko (Risk assessment tools) dan adanya bahaya dilingkungan klien (home hazards appraisal). Pengkajian Resiko

a) Jatuh

– Usia klien lebih dari 65 tahun
– Riwayat jatuh di rumah atau RS
– Mengalami gangguan penglihatan atau pendengaran
– Kesulitan berjalan atau gangguan mobilitas
– Menggunakan alat bantu (tongkat, kursi roda, dll)
– Penurunan status mental (disorientasi, penurunan daya ingat)
– Mendapatkan obat tertentu (sedatif, hypnotik, tranquilizers, analgesics, diuretics, or laxatives)

b) Riwayat kecelakaan

Beberapa orang memiliki kecenderungan mengalami kecelakaan berulang, oleh karena itu riwayat sebelumnya perlu dikaji untuk memprediksi kemungkinan kecelakaan itu terulang kembali

c) Keracunan

Beberapa anak dan orang tua sangat beresiko tinggi terhadap keracunan. Pengkajian meliputi seluruh aspek pengetahuan keluarga tentang resiko bahaya keracunan dan upaya pencegahannya.

d) Kebakaran

Beberapa penyebab kebakaran dirumah perlu ditanyakan tentang sejauh mana klien mengantisipasi resiko terjadi kebakaran, termasuk pengetahuan klien dan keluarga tentang upaya proteksi dari bahaya kecelakaan akibat api.

e) Pengkajian Bahaya

Meliputi mengkaji keadaan: lantai, peralatan rumah tangga, kamar mandi, dapur, kamar tidur, pelindung kebakaran, zat-zat berbahaya, listrik, dll apakah dalam keadaan aman atau dapat mengakibatkan kecelakaan.

f)  Keamanan (spesifik pada lansia di rumah)

Gangguan keamanan berupa jatuh di rumah pada lansia memiliki insidensi yang cukup tinggi, banyak diantara lansia tersebut yang akhirnya cedera berat bahkan meninggal. Bahaya yang menyebabkan jatuh cenderung mudah dilihat tetapi sulit untuk diperbaiki, oleh karena itu diperlukan pengkajian yang spesifik tentang keadaan rumah yang terstuktur. Contoh pengkajian checklist pencegahan jatuh pada lansia yang dikeluarkan oleh Departemen kesehatan dan pelayanan masyarakat Amerika.

D. DIAGNOSA

  • Ø Diagnosa umum sering muncul pada kasus keamanan fisik menurut NANDA adalah

ü    Resiko tinggi terjadinya cedera (High risk for injury). Seorang klien dikatakan   mengalami masalah keperawatan resiko tinggi terjadinya cidera bila kondisi lingkungan dan adaptasi atau pertahanan seseorang beresiko menimbulkan cedera.

ü    Resiko terjadinya keracunan: adanya resiko terjadinya kecelakaan akivat terpapar, atau tertelannya obat atau zat berbahaya dalam dosis yang dapat menyebabkan keracunan.

ü    Resiko terjadinya sufokasi: adanya resiko kecelakaan yang menyebabkan tidak adekuatnya udara untuk proses bernafas.

ü    Resiko terjadinya trauma: adanya resiko yang menyebabkan cedera pada jaringan (ms. Luka, luka bakar, atau fraktur).

ü    Respon alergi lateks: respon alergi terhadap produk yang terbuat dari lateks.

ü    Resiko respon alergi lateks: kondisi beresiko terhadap respon alergi terhadap produk yang terbuat dari lateks.

ü    Resiko terjadinya aspirasi: klien beresiko akan masuknya sekresi gastrointestinal, sekresi orofaringeal, benda padat atau cairan kedalam saluran pernafasan.

ü    Resiko terjadinya sindrom disuse (gejala yang tidak diinginkan): klien beresiko terhadap kerusakan sistem tubuh akibat inaktifitas sistem muskuloskeletal yang direncanakan atau tidak dapat dihindari.

Contoh kasus:

Tn. ED, 70 tahun tinggal seorang diri dirumahnya. Klien memiliki riwayat glaukoma sehingga klien harus menggunakan obat tetes mata dua kali sehari. Klien mengatakan sulit memfokuskan penglihatan, kehilangan penglihatan sebelah, dan tidak bisa melihat dalam gelap.

  • Diagnosa yang muncul adalah:

ü   Resiko tinggi cedera: jatuh berhubungan dengan penurunan sensori (tidak mampu melihat)

E. PERENCANAAN

Secara umum rencana asuhan keperawatan harus mencakup dua aspek yaitu: Pendidikan kesehatan tentang tindakan pencegahan dan memodifikasi lingkungan agar lebih aman.

  1. Contoh rencana asuhan keperawatan: (sesuai kasus pada bagian E)
    Diagnosa: Resiko tinggi cedera: jatuh berhubungan dengan penurunan sensori (tidak mampu melihat)
    Tujuan: Klien memperlihatkan upaya menghindari cedera (jatuh) atau cidera (jatuh) tidak terjadi
    Kriteria hasil: Setelah dilakukan tindakan keperawatan berupa modifikasi lingkungan dan pendidikan kesehatan dalam 1 hari kunjungan diharapkan Klien mampu:

1. Mengidentifikasi bahaya lingkungan yang dapat meningkatkan kemungkinancidera

2. Mengidentifikasi tindakan preventif atas bahaya tertentu,
3. Melaporkan penggunaan cara yang tepat dalam melindungi diri dari cidera.

F. INTERVENSI

1. Kaji ulang adanya faktor-faktor resiko jatuh pada klien.

2. Tulis dan laporkan adanya faktor-faktor resiko

3. Lakukan modifikasi lingkungan agar lebih aman (memasang pinggiran tempat tidur, dll) sesuai hasil pengkajian bahaya jatuh pada poin 1
4. Monitor klien secara berkala terutama 3 hari pertama kunjungan rumah

5. Ajarkan klien tentang upaya pencegahan cidera (menggunakan pencahayaanyang baik, memasang penghalang tempat tidur, menempatkan benda berbahayaditempat yang aman)
6. Kolaborasi dengan dokter untuk penatalaksanaan glaukoma dan gangguan

penglihatannya, serta pekerja sosial untuk pemantauan secara berkala.

Secara umum kriteria hasil paling penting pada kasus resiko tinggi cidera adalah membantu klien untuk mengidentifikasi bahaya, dan mampu melakukan tindakan menjaga keamanan. Kriteria hasil yang lebih spesifik diantaranya Klien mampu: mengidentifikasi bahaya lingkungan yang dapat meningkatkan kemungkinan cidera, mengidentifikasi tindakan preventif atas bahaya tertentu, melaporkan penggunaan cara yang tepat dalam melindungi diri dari cidera.

G. IMPLEMENTASI


Rencana tindakan lain dapat dilihat pada poin G (Implementasi).

Implementasi berikut bersifat spesifik untuk beberapa bahaya tertentu (tidak berhubungan dengan kasus):

1. Meningkatkan keamanan sepanjang hayat manusia

Memastikan keamanan klien pada semua usia berfokus pada: obsevasi atau prediksi situasi yang mungkin membahayakan sehingga dapat dihindari dan memberikan pendidikan kesehatan yang memberikan kekuatan bagi klien untuk menjaga dirinya dan keluarganya dari cedera secara mandiri. Aspek pendidikan kesehatan yang lebih spesifik sesuai rentang usia klien dapat anda lihat pada Kozier, 2004: 674-675.

2. Mempertahankan kondisi aman dari api dan kebakaran

Upaya pencegahan yang bisa dilakukan perawat adalah memastikan bahwa ketiga elemen tersebut dapat dihilangkan. Jika kebakaran sudah terjadi ada dua tujuan yang harus dicapai yaitu: melindungi klien dari cedera dan membatasi serta memadakan api.

• Di pusat pelayanan kesehatan
Upaya pencegahan: Memastikan nomor telpon darurat ada disemua pesawat, Mengatur situasi sehingga alat-alat atau benda-benda yang tidak perlu tidak berada di lorong jalan, Menempatkan prosedur evakuasi dan penanganan kebakaran disemua tempat, Mengorientasikan seluruh karyawan tentang jenis-jenis kebakaran dan penanganannya.

Jika kebakaran terjadi: Mengevakuasi klien kearea yang aman, aktifkan alarm, jika api kecil lakukan pemadaman dengan alat pemadam yang ada, tutup pintu dan jendela jika perlu ketahui derajat kebakaran untuk menentukan jenis pemadam yang tepat.

3. Mencegah terjadinya jatuh pada klien

– Orientasikan klien pada saat masuk rumah sakit dan jelaskan sistem komunikasi yang

ada
– Hati-hati saat mengkaji klien dengan keterbatasan gerak
– Supervisi ketat pada awal klien dirawat terutama malam hari
– Anjurkan klien menggunakan bel bila membutuhkan bantuan
– Berikan alas kaki yang tidak licin
– Berikan pencahayaan yang adekuat
– Pasang pengaman tempat tidur terutama pada klien dengan penurunan kesadaran dan

gangguan mobilitas
– Jaga lantai kamar mandi agar tidak licin
– Lengkapnya bisa dilihat pada Kozier, 2004:679

4. Melakukan tindakan pengamanan pada klien kejang:
– Pasang pengaman tempat tidur dengan dilapisi kain tebal (mencegah nyeri

saat terbentur)
– Pasang spatel lidah untuk mencegah terhambatnya aliran udara
– Longgarkan baju dan ikatan leher (kerah baju)
– Kolaborasi pemberian obat antikonvulsi.
– Berikan masker oksigen jika diperlukan

5. Memberikan pertolongan bila terjadi keracunan

Perawat dapat memberikan pendidikan kesehatan pada masyarakat bila terjadi keracunan melalui identifikasi adanya zat-zat beracun dirumah yang terkonsumsi, segera laporkan ke institusi kesehatan terdekat serta menyebutkan nama dan gejala yang dialami klien, jaga klien pada posisi tenang ke satu sisi atau dengan kepala ditempatkan diantara kedua kaki untuk mencegah aspirasi.

6. Memberikan pertolongan bagi klien yang terkena sengatan listrik

Jika seseorang terkena macroshock (sengatan listrik yang cukup besar) jangan sentuh klien tersebut sampai pusat listrik dimatikan dan klien aman dari arus listrik. Macroshock sangat berbahaya karena dapat menyebabkan luka bakar, kontraksi otot, dan henti nafas serta henti jantung. Untuk mencegah macroshock gunakan mesin/alat listrik yang berfungsi dengan baik, pakai sepatu dengan alas karet, berdirilah diatas lantai nonkonduktif, dan gunakan sarung tangan non konduktif.

7. Melakukan penanganan bagi klien yang terpapar kebisingan

Kebisingan memiliki efek psikososial dan efek fisiologis. Efek psikososial seperti rasa jengkel, tidur dan istirahat terganggu, serta gangguan konsentrasi dan pola komunikasi. Efek fisiologis meliputi peningkatan nadi dan respirasi, peningkatan aktifitas otot, mual, dan kehilangan pendengaran jika intensitas suara tepat. Kebisingan dapat diminimalisir dengan memasang genting, dinding, dan lantai yang kedap suara; memasang gorden; memasang karpet; atau memutar background music.

8. Melakukan Heimlich maneuver pada klien yang mengalami tersedak.

9. Melakukan perlindungan terhadap radiasi

Tingkat bahaya radiasi tergantung dari: lamanya, kedekatan dengan sumber radioaktif, dan pelindung yang digunakan selama terpapar radiasi. Upaya yang harus dilakukan oleh perawat dalam hal ini adalah memakai baju khusus, memakai sarung tangan, mencuci tangan sebelum dan sesudah memakai sarung tangan, dan membuang semua benda yang terkontaminasi.

10. Melakukan pemasangan restrain pada klien

Restrain adalah alat atau tindakan pelindung untuk membatasi gerakan/aktifitas fisik klien atau bagian tubuh klien. Restrain diklasifikasikan menjadi fisikal(physical) dan kemikal(chemical) restrain. Fisikal restrain adalah restrain dengan metode manual atau alat bantu mekanik, atau lat-alat yang dipasang pada tubuh klien sehingga klien tidak dapat bergerak dengan mudah dan terbatas gerakannya. Kemikal restrain adalah restrain dalam bentuk zat kimia neuroleptics, anxioulytics, sedatif, dan psikotropika yang digunakan untuk mengontrol tingkahlaku sosial yang merusak.

Restrain sebaiknya dihindari sebab berbagai komplikasi sering dikeluhkan akibat pemasangan restrain. Komplikasi fisik diantaranya luka tekan, retensi urin, inkontinensia, dan sulit BAB, bahkan kematian pun dilaporkan. Komplikasi psikologisnya adalah penurunan harga diri, bingung, pelupa, depresi, takut, dan marah. Restrain hendaknya digunakan sebagai alternatif terakhir. Bila dilakukan maka haruslah (a) dibawah pengawasan dokter dengan perintah tertulis, apa penyebabnya, dan untuk berapa lama (b) klien setuju dengan tindakan tersebut.

• Implikasi legal pemasangan restrain

Untuk melindungi klien dan mencegah masalah legal, perawat perlu mengikuti aturan berikut:
1. Perhatikan panduan tiap-tiap restrain yang akan digunakan
2. Gunakan restrain hanya bila dibutuhkan untuk kesehatan dan keselamatan klien
3. Jika dilakukan pemasangan restrain, dokumentasikan: penyebab, tipe, informed consent yang diberikan, respon klien, waktu pemasangan dan pelepasan, asuhan keperawatan yang diberikan, tanda-tangan dokter dan perawat
4. Lakukan evaluasi secara periodik

• Memilih restrain

Dalam memilih restrain perlu memenuhi lima kriteria berikut:
1. Membatasi gerak klien sesedikit mungkin
2. Paling masuk akal/bisa diterima oleh klien dan keluarga
3. Tidak mempengaruhi proses perawatan klien
4. Mudah dilepas/diganti
5. Aman untuk klien

• Macam-macam restrain
1. limb restraints (restrain pergelangan tangan), elbow restraints (khusus untuk
daerah sikut)
2. mummy restraints (pada bayi), crib nets (box bayi dengan penghalang)
3. Jacket restraints (jaket),
4. belt restraints (sabuk),
5. mitt or hand restraints (restrain tangan),

H.   EVALUASI

Melalui data yang dikumpulkan selama pemberian asuhan keperawatan perawat dapat menilai apakah tujuan asuhan telah tercapai. Jika belum tercapai maka perawat perlu melakukan eksplorasi penyebabnya. Diantaranya perawat dapat menanyakan beberapa hal berikut pada klien:

– Sudahkan anda melakukan semua tindakan pencegahan?
– Tindakan pencegahan apa yang klien tahu?
– Apakah klien menyetujui semua tindakan pencegahan yang diajarkan?
– Sudahkah perawat menulis dan mengimplementasikan rencana pendidikan kesehatan pada klien?

I.  KESIMPULAN

Jatuh merupakan salah satu geriatric giant,sering terjadi pada usia lanjut ,penyebab tersering adalah masalah di dalam dirinya sendiri (ganaauan gait,sensorik,kognitif,sistem syaraf pusat)di dukung oleh keadaan lingkungan rumahnya yang berbahaya (alat rumah tangga yang yua/tidak stabil,lantai yang licin dan tidak rata,dan lain-lain )

Jatuh sering  mengakibatkan mengakibatkan komplikasi dari yang paling ringan berubah memar dan keseleo sampai dengan patah tulang bahkan kematian , oleh karena itu harus di cegah agar jatuh tidak terjadi berulang-ulang ,dengan cara identifikasi faktor resiko ,penilaian keseimbangan dan gaya berjalan ,serta mengatur / mengatasi faktor situasional

Pada prinsipnya mencegah terjadinya jatuh pada usia lanjutsangat penting dan lebih utama dari pada mengobati akibatnya .

DAFTAR PUSTAKA

Craven & Hinrle. (2000). Pain perception and Management.
Fundamentals of nursing: Human health and function (3rd ed.). Philadelphia: Lippincott.

Kozier & Erb. (2004). Pain Management.
Fundamentals of nursing: Concepts, process, and practice (7th ed.). New Jersey: Pearson prentice hall.

Taylor, Lillis, & Le Mone. (1997). Comfort.
Fundamentals of nursing: The art & Science of nursing care (3rd ed.). Philadelphia: Lippincott.

Wilkinson,J.M. (2000). Nursing diagnosis handbook with NIC interventions and NOC outcomes (7th ed.). Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall Health

http://.en.wikipedia.org/wiki/safety

www.nmsu.edu/safety/program-link.htm

http://wps.prenhall.com/chet_kozier_fundamentals_7/0,7865,764086-,00.html

TGS GERONTIK IIS CHOLILAH(07 40 71).doc

« Newer Posts - Older Posts »

Kategori